Tuesday, December 13, 2011

Bermain Api

Bermain api itu berbahaya sekaligus menyenangkan

Pertama manusia mengenal api, mereka gunakan untuk menghangatkan badan dan memasak makanan. Pada peradaban selanjutnya derajatnya naik pangkat, api menjadi sesembahan. Dan saat manusia merasa butuh saling mengalahkan, api adalah senjata.

Kemudian, ketika peradaban manusia memasuki tahap saling memakan, api adalah mainan.

Namrudz yang lalim pernah membakar Ibrahim karena telah mengganggu stabilitas sosial berketuhanan kala itu. Namun Tuhan berpihak pada Ibrahim kemudian menyelamatkan pemuda pemberani itu dari jilatan si jago merah.

Kini bukan lagi jaman para nabi. Penguasa lalim tak perlu lagi main perintah dan menjatuhi hukuman mati.

Melainkan rakyatnyalah yang akan membakar diri agar didengar penguasa lalim. Walau pengorbanan ini begitu konyol. Sebab mereka yang duduk di kursi empuk tak akan peduli derita rakyatnya. Mungkin hanya akan jadi obrolan di meja makan.

"Anak kuliahan yang bakar diri itu, siapa namanya, sudah mati lho..,"

"Ooh..."

Wednesday, November 30, 2011

Filosofi Nyapu

Larik-larik debu yang tertata rapi oleh sapuan seikat lidi.

Sudah tak perlu dipungkiri lagi. Bahwa saya 100 % anak desa. Namun, pelajaran dari desa memang tak ada habisnya. Kali ini saya berkesempatan untuk mengambil satu hikmah. Ialah filosofi nyapu.

Anda sekalian saya yakin mengenal sapu lidi. Perangkat sederhana untuk mengumpul sampah yang terbuat dari kumpulan tulang daun kelapa yang diikat.

Yang namanya sapu tentu gunanya untuk menyapu. Namun di desa di mana saya menjadi anggota warga baru, yang namanya sapu fungsinya juga untuk menyisir debu. Jadi tahu kan yang disisir bukan cuma rambut.

Kegiatan macam ini hanya bisa dilakukan di halaman tanah yang cukup luas. Di kota akan sulit mengekspresikan seni yang satu ini. Selain halaman sempit, halaman rumah di kota juga keras karena berupa aspal atau paving jalanan.

Mungkin, di desa di mana saya menjadi anggota warga baru, halaman luas dengan debu yang tertata rapi akan menunjukkan strata sosial. Makanya kegiatan menyapu latar, walau hanya dengan alat sederhana, merupakan aktivitas prestisius sekelas mengayun steak golf harga puluhan juta di padang golf nan mewah. :)

Thursday, November 24, 2011

Para Pengejar Matahari

Jemuran yang tak kering tanpa matahari
"Nitip njemur baju di sini ya, Om," kata Mbak Sri sambil menyiapkan jemuran dari kayu dan membawa seember penuh baju basah habis dicuci. "Ngejar matahari, kalo sore mesti hujan," ujar ibu dua putra ini. Kebetulan rumahku menghadap timur. Sehingga depan rumah selalu bermandikan sinar matahari pagi.


Musim hujan kembali menyapa. Saatnya Malaikat Mikail sibuk membuka dan menutup kran hujan. Begitu pula para ibu yang kudu lebih peka melihat tanda dari langit. Harus lebih jeli mengolah jadwal kerjanya. Sebab jika perhitungan dan prediksi mereka tidak tepat, akan kacau tatanan peradaban.

Kok bisa begitu?

Tentu bisa. Bayangkan saja jika baju yang kita pakai kotor, kemudian dicuci, kemudian tak kering karena matahari nggak nongol, sementara baju serep di lemari sudah habis. Mau menutupi badan pakai daun pisang?

Ya kalau kita mau pakai baju yang gak di cuci, atau mau pakai baju basah yang gak dijemur, masalah akan selesai. Namun masalah akan jadi panjang kalau sampai pakai daun dan kulit hewan buat nutupi malu. Wah, balik maning ke jaman purba.

Oleh karenanya, berterimakasihlah pada para pengejar matahari. Yang biasanya peran ini dimainkan dengan baik oleh ibu atau istri kita, juga para asisten rumah tangga. 

Pesan Pendek

Stiker yang lucu dan lumayan nggilani macam ini banyak beredar

Sebelum marak stiker, manusia masa lampau menempelkan pesan-pesan di dinding-dinding goa. Bahasanya pun sederhana. Berupa tapak tangan dengan warna merah. Atau gambar-gambar sederhana.

Seiring majunya peradaban, manusia kini punya media yang variatif untuk menyampaikan pesan. Dan saking mudahnya menyampaikan pesan melalui media yang tak terhitung lagi banyaknya, membuat manusia kini bingung mau menyampaikan pesan apa. Walhasil, pesan tak bermutu macam stiker di atas bermunculan. Dan anehnya, banyak juga manusia penikmat stiker tak bermutu ini. Manusia yang aneh...

Tuesday, November 15, 2011

Bunga Suweg

Bunga Suweg adalah keluarga Bunga Bangkai

Sekilas mirip bunga yang diceritakan Bu Guru saat SD dulu. Namun tidak mengeluarkan bau. Endemiknya pun tak hanya di Sumatera. Ya, bunga suweg (Amorphophallus Campanulatus) memang bukan bunga bangkai (Titanium Amorphophallus). Ia biasa tumbuh di pekarangan dengan tinggi 50 cm dan berdiamete 30 cm. Masa mekarnya seiring datangnya musim hujan. Walau beda, bunga suweg cukup untuk mengobati rasa penasaran bagi yang tak sempat ke Kebun Raya Bogor untuk melihat bunga bangkai yang tak setiap saat ada...

Friday, November 11, 2011

Bukan Pembalut (1)

Apakah Anda juga mengira ini merek pembalut wanita?

Konon, di China, pembuatan onderdil sepeda motor dikerjakan industri rumahan. Yang di Indonesia industri serupa mungkin memproduksi biji-biji catur atau kerupuk upil. Maka tak heran waktu booming Motor China (Mochin) di Indonesia, seperti perkiraan banyak orang, dan ternyata benar, yaitu mudah rusak. Olok-olok yang menjadi perbincangan khalayak adalah reparasi Mochin jangan terlalu diharapkan. Sebab ukuran onderdil Mochin, yang bikinan industri rumahan, tidak berstandar. Ada yang bilang, besar pipa yang tak sama, lubang baut yang tidak pada tempatnya, hingga hasil pengerjaan yang beraneka. Ini karena masing-masing industri rumahan punya standar masing-masing, untuk tidak mengatakan tidak berstandar.

Juga tak asing lagi bahwa berbagai produk China adalah barang antik. Kenapa? Karena hasil 'kanibal' barang lama bekas Amerika. Contohnya pesawat teve yang sempat cukup lama mengusir sepi kami, aku dan teman-teman serumah waktu kuliah dulu.

Mereknya lucu. Atau bisa dibilang aneh bin norak. Setiap teman yang berkunjung dan pertama kali melihat TV kami, langsung teringat produk pembalut wanita. Mungkin pembuatnya males bikin nama, terus niru dan dimodifikasi.

FOSTEX. Sebuah pesawat teve 14' yang lima tahun lalu seharga Rp 400 ribu. Hasil patungan teman-teman serumah, plus para romli alias rombongan liar yang sering kali datang tak diundang pergi tak diusir.

Kini kotak ajaib ini nangkring di ruang tengah rumahku. Sempat menghibur kami enam belas hari.

Tuesday, November 1, 2011

Prasasti


Masih ingat pelajaran sejarah waktu SD? Tentang bongkahan-bongkahan batu berpahatkan pesan. Dari para pengirim pesan masa lalu. Itulah batu-batu prasasti yang menjadi saksi sekaligus bukti. Bahwa seseorang pernah eksis pada suatu ketika yang telah lampau. Memberikan pengaruh di jamannya. Meninggalkan jejak bagi generasi sesudahnya.

Tinggalkan jejak kebaikan untuk anak cucumu.

Friday, October 7, 2011

All Will Miss Jobs


Semua orang yang mengenalnya, insyaallah, sepakat, bahwa Jobs adalah jenius. Begitu juga bagiku, ia menambah satu istilah baru untuk melengkapi koleksi istilah bidang pekerjaan.

Saya, bersama Bill Gates, Mark Zakerberg, Obama, turut berbelasungkawa.

Sampai jumpa, Steve Jobs...

I'am Single and Very Happy


Kurasa kalimat judul di atas banyak yang merasa dan menyepakati, dan kemudian mematut-matutkan diri. Bahwa 'single' is 'no problemo', bahkan 'very happy' malahan.

Namun dengan hakkul yakin kukatakan pada Jefelers sekalian. Bahwa mereka yang sepakat "I'am single and very happy" tak lain hanyalah para barisan sakit hati. Yang pernah kecewa pada pasangan, atau mereka yang pernah berharap namun pasangan tak kunjung datang.

Sodara-sodaraku sekalian, Tuhan telah ciptakan kehidupan di dunia ini berpasang-pasang. Maka betapa janggal jika itu dilanggar.

***

Kali ini bukan maksud hamba menyalahi kodrat-Mu, Tuhan. Tentang ciptaan-Mu yang berpasang-pasang. Dan kini semakin kuimani qodo' dan qodar-Mu. Setelah kualami sendiri, sebagai suami, betapa berat jika sedang ditinggal istri. Walau hanya ke kota sebelah. Walau tiap saat masih berjumpa lewat SMS.

Istriku, aku merasakan hadirmu, saat bercanda sambil masak di Dapur Bulan Madu kita. Bisa kucium semerbak wangimu saat wara-wiri menyiapkan makan memakai piring ungu kita. Bisa kulihat seolah ingin kusentuh wajah ayumu saat kau terpejam melantunkan doa-doa dan seperangkat ritual yang mengiringi makan kita.

Istriku, pagi ini kubuatkan mie godog spesial yang belum pernah kubuat sebelumnya, untuk kita. Di Dapur Bulan Madu kita, dengan piring ungu kita.

Salam rindu, Suamimu.

Wednesday, September 28, 2011

Pisang Goreng Bulok


Yang membuat orang pintar berimprovisasi sering kali adalah mepetnya keadaan. Munculnya Pisang Goreng Bulok juga menjadikan "si kepepet" sebagai tersangka. Walau hasil improvisasi kali ini belum seheboh Bob Sadino yang menelurkan Kemchick, atau Sandiaga S. Uno yang melahirkan Saratoga, tapi saya cukup senang.

Ceritanya begini. Kemarin, sekembali dari pulang kampung alias mudik lebaran, aku disambut oleh cerianya warna kuning yang terpancar dari tiga sisir pisang kepok sisa produksi kripik pisang akhir Ramadhan lalu. Ranum sekali mereka. Rasanya sayang jika keindahannya rusak oleh kerakusanku. Maklum, masa pertumbuhan sering membuatku banyak makan tanpa sadar. He..he..

Hari pun berganti. Semburat kuning pisang kepok mulai redup. Beberapa sisi belang mengitam. Menandakan pisang memasuki masa pasca-matang, untuk tidak menyebut membusuk. Saatnya misi penyelamatan! Hiaat...

Pagi ini, sehabis subuh aku pasang aksi di Dapur Bulan Madu, di mana aku bersama belahan jiwaku biasa adu masak. Kupas dan potong pisang, racik tepung, nyalakan kompor, pasang wajan, panaskan minyak. Kreasi jajanan dari pisang kepok pun dimulai.

Zap...zap...zap...(selesai). Pisang Goreng Bulok siap dihidangkan.

Memang tidak spesial. Namun teman-teman sekantor menyangka pisang goreng itu buatan tangan perempuan. Artinya masakanku tak kalah enak dari masakan master chef asal Kediri, Kyut Wulwul. Padahal istriku itu sedang di luar kota. Dan aku menjadi bujang lokal di Surabaya.

Oleh karenanya pisang goreng ini kunamai Pisang Goreng Bulok (Bujang Lokal).

Sampai jumpa di Dapur Bulan Madu untuk menu berikutnya...

Friday, September 9, 2011

Penemu Rumus Baru

Tahukah Anda, dua tanda strip (-) di stik putih itu artinya positif (+)

- + - = + (negatif + negatif = positif)

Begitulah rumus baru itu terbaca, lamat-lamat sambil ngucek mata aku hampir tak percaya. Mungkin begitu pula yang dialami Archimedes. Saat suatu pagi ia menyadari bebek karetnya yang selama ini menemaninya mandi, menyembul ke atas ketika ia menekannya ke bawah. "EUREKA!".

21 Ramadhan 1432. Pukul 20.45.
"Assalamu'alaikum...," sambil membuka pintu kuucap salam. Tak ada jawaban. Hanya suara kipas angin yang berdesir pelan. Mengaduk udara ruang kecil tak berpintu. Rupanya Tuan Putri sedang terlelap.

"Kyut...," kupanggil ia pelan. Nafasnya ditarik panjang dan mulai menggeliat. Perlahan matanya terbuka. "Mas, aku pusing."

Keluhnya masih seperti tadi pagi. Juga seperti beberapa hari terakhir. Badannya panas, selera makannya turun, badannya lunglai. Tuan Putri memang sedang tidak fit.

"Aku ingin memastikan. Khawatir ada apa-apa terjadi padaku," ungkapnya.

"Yo wis, biar kubelikan sekarang," sahutku bersemangat sekaligus khawatir.

Motor matik yang baru saja kuparkir, kupacu kembali. Sambil mengingat-ingat di mana ada apotek. Memang baru satu bulan kami tinggal di sini. Belum menguasai pemetaan wilayah. Setelah memacu motor matik 10 km bolak-balik, aku kembali tiba di rumah. "Sekarang istirahat dulu. Ini dipakainya besuk pagi ya," kuletakkan bungkusan plastik hitam di sisi tempat tidur. Aku pun ikut merebahkan badan.

Tak lama berselang, terdengar panggilan dari ruang belakang. Diikuti suara saklar lampu yang dipencet berulang-ulang. Sejak awal tinggal di sini saklar lampu ruang tengah sedikit rewel. Setengah sadar aku terbangun. Rupanya baru saja aku terlelap sejenak. Tuan Putri pun telah terjaga. Sementara tangan kiri masih bermain saklar, tangan kanannya memegang kertas kecil semacam tester parfum mahal.

"Mas, kok nggak kelihatan," katanya gundah. Kupaksa badanku agar siaga. Seraya memutar kembali ingatan satu jam yang lalu. Barulah aku tersadar. Bungkusan plastik hitam tak lagi di tempat kuletakkan.

"Coba kulihat," kataku sambil menggapai sehelai kertas kecil bermerek Akurat tadi sambil berdiri dan memencet saklar. Ruangan jadi terang.

Sejenak kufokuskan konsentrasiku untuk membaca pesan yang tertera di kertas test pack itu. Macam pawang vampir China membaca mantra. Kuperhatikan dan segera kuteringat sebingkai foto di Blackberry Kang Rama beberapa waktu lalu. "Memang nggak terlalu keliatan, tapi ini cukup jelas menandakan bahwa istriku positif hamil," kata suami sahabatku itu.

"Kyut sayang, ini ada dua strip. Artinya kamu positif," kataku seraya kaget oleh pelukan kuat hingga membuat wajahku ungu. Ialah istriku, sang penemu rumus baru....

Istriku, aku tresno marang sliramu. Suwer deh...

Fajarku Terbit


Duh Gusti, makin jauh dan tak mungkin hamba menebus nikmat-Mu. Ramadhan kembali menyapaku. Tak bosan-bosannya Engkau berikan kesempatan padaku untuk berjumpa Bulan Suci-Mu. Duh Gusti, hamba mohon ridha-Mu.

1 Ramadhan 1432 H
Ternyata makan sahurku sangat beda tahun ini. Tahu kenapa? Patahan tulang iga yang telah lama kucari telah kembali.

Fajar-ku, terbit dan terangilah sisa waktuku.

Sunday, July 17, 2011

Tuhan, Selamatkan Indonesia

Sedia air minum dan handuk. Khas pekerja jalanan.

Entah sudah berapa liter peluh yang telah diseka oleh handuk kumal ini dari tubuh sang penjaja samiler. Handuk yang setiap kibasannya menjelma selaksa doa, "Tuhan, Selamatkan Indonesia".

Doa orang kecil, yang walau terhimpit keadaan yang dibuat pemimpinnya, tapi masih sempat memikirkan nasib negaranya. Harapan yang dulu pernah dititipkan penjaja samiler kepada para wakil rakyat. Asa orang kecil yang masih terus menyala, walau janji dari para pengobral janji tak kunjung tiba.

Han...Tuhan..., plis selamatkan Indonesia...

Monday, June 20, 2011

Nyamuk's Invasion

Terkapar sehabis bertempur menghadapi infasi nyamuk.

Ada beberapa jenis binatang yang di Surabaya Zoo tidak dipelihara. Namun bukan berarti mereka absen dari sana. Malah mereka sudah eksis sebelum kebun binatang terlengkap Indonesia itu ada. Salah satu dari mereka adalah mosquito, atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai nyamuk. Ibuku yang orang Boyolali memanggilnya jingklong. Karena binatang satu ini endemik di sepanjang katulistiwa hingga daerah iklim sedang, tak heran jika setiap bahasa mengenalnya dengan kata berbeda.

Nyamuk memang binatang yang luar biasa. Walau tidak dilindungi, justeru diburu dan dibasmi, mereka malah makin lestari. Mungkin perburuan nyamuk sudah terjadi sejak peradaban manusia dimulai.

Teknologi perburuan nyamuk pun mengikuti perkembangan jaman. Dari kebas nyamuk batu dari jaman batu, kebas nyamuk perunggu dari jaman perunggu, kebas nyamuk lidi dari jaman lidi. Dan yang terbaru adalah kebas nyamuk listrik.

Teman dari belahan dunia lain datang dan numpang tidur di rumah. Saat malam tiba, suara berisik terdengar dari kamarnya. Saat kulihat, rupanya ia sedang berpesta. Tangan kanannya memegang raket aneh. Mirip kepunyaan atlet di TV tapi lebih gemuk. Saat dipencet tombol, lampu biru menyala dan bersuara seperti kumpulan lebah terbang. "Awas minggir!" katanya. Dan "Tarr..tar...tar....", seekor nyamuk yang melintas di depan hidungku tewas terpanggang. Terbakar seperti kembang api. Aku pun hanya terbengong dan mengelus-elus hidungku yg hampir tersambar alat penyiksa sadis itu.

Tak butuh waktu lama untuk membuatku jatuh cinta. Malam itu juga aku menidurinya. Dan perang pun baru dimulai. Oh, kebas nyamuk listrik. Kau menemaniku melanjutkan peperangan abadi melawan nyamuk. Hajaaarrr!!!

Thursday, April 14, 2011

L O A K


Saya belum tahu dan belum mencari tahu dari mana asal kata "loak". Secara umum kita bisa sepakat, loak artinya barang bekas. Benarkah begitu?

Bagi para pembaca yang tahu jawabannya atau mengajukan usul jawaban, silakan berkomentar. Thanks.

Membunuh Waktu

Bermacam-macam cara membunuh waktu.

Berbagai macam cara manusia memandang berkah Tuhan yang bernama waktu. Seperti yang banyak orang Surabaya lakukan di malam hari.

Dunia malam Surabaya begitu variatif. Dari kelas elite hingga kelas kambing. Kelas ini menentukan dan ditentukan oleh tebal tipisnya kantong. Sudah barang tentu siapa saja yang mengisi kelas-kelas ini sangat mudah dikenali dari bagaimana cara mereka "membunuh waktu".

Seperti yang teman saya lakukan. Andria namanya. Cucu dari seorang warok terakhir di kampungnya. Sejak perubahan statusnya dari mahasiswa menjadi pengangguran, kini ia lebih rajin nongkrong di warung kopi. Tujuannya pasti, mengusir sepi sambil menunggu hari berganti.

Sudah lupakah kita bahwa waktu takkan berulang kembali.

Tuesday, April 12, 2011

Cara Hemat untuk Sehat

Air putih baik untuk kesehatan. Juga murah...

Adalah penting bagi kita untuk menjaga kesehatan. Maka dari itulah, dari 1001 tips yang para ahli kesehatan tawarkan, saya bersama teman serumah, Ubet Markasan, mendeklarasikan untuk melaksanakan salah satu tips, mengurangi konsumsi gula.

Bagaimana caranya? Adalah air, sumber kehidupan bagi alam. Yang juga bagian terbesar tubuh kita. Mengonsumsi air secukupnya adalah baik.

Maka, kini setiap makan di warung tak lupa bawa sebotol air putih. Cara ini kami pilih karena kebanyakan warung tidak menyediakan air putih. Minuman yang ditawarkan selalu mengandung gula. Jadi mengonsumsi air putih, selain sehat, juga hemat.

Thursday, April 7, 2011

Angkringan 21

Steak Tempe, salah satu menu andalan Kafe d'Angkringanz.

Go.. Go.. Entrepreneur...!
Tiga bulan belakangan yel-yel ini makin akrab saja denganku. Dipekikkan seorang sahabat lama yang sedang menggandrungi dunia wirausaha.

Senin lalu salah satu eksekusi pertama digelar. Sebuah langkah besar mengawali hidup sebagai pengusaha.

Sebuah kafe dengan tampilan elegan namun mengangkat budaya proletar. Alhasil, perkawinan dua kultur ini menyuguhkan menu dengan cita rasa berkelas, harga pas.

d'Angkringanz. Kafe di Jl. Arif Rahman Hakim Surabaya ini dengan bangga memanjakan kawula muda dan penggila bola. Makanan sederhana yang dikreasi begitu rupa, dengan harga terjangkau, disuguhkan sambil menikmati siaran langsung pertandingan sepak bola di jaringan TV Kabel.

Sunday, March 13, 2011

Galeri Jalanan


Perajin pigora, seperti perajin kayu lainnya, selalu menampilkan hasil seninya sebagai pajangan. Bedanya, jika pembuat lemari tidak menyertakan gantungan plus baju sebagai display produknya. Pembuat meja makan tidak menyertakan menu makanan. Pembuat pigora akan aneh dan tidak menarik jika tidak menyertakan foto atau lukisan.

 Dan yang paling khas, foto Bung Karno, Iwan Fals, Bob Marley, Che Guevara, dan juga The Beatles selalu mejeng di galeri jalanan ini.

Coba deh perhatikan.

Kuliner Nostalgia

Sedia tiwul, srawut, gempo, bemblong, gathot.

Jaman perjuangan meninggalkan banyak cerita. Hampir semua berkisah tentang kesedihan. Dari pakaian berbahan karung goni, makanan dari pokok pisang, juga bambu runcing lawan senapan.

Satu yang tak kalah dramatis adalah kemewahan makan makanan berbahan singkong. Seperti tiwul, srawut, gemblong, gempo, bakmi.

"Panganan kok ora maregi," kata embah saat melihatku memakan jajanan instan. Saat mendengar komentar itu dua puluh tahun lalu, aku hanya mencibir. Kini baru kusadari, kata-kata itu begitu dalam.

'Maregi', asal kata 'wareg' yang berarti kenyang, dengan awalan me- dan akhiran -i membentuk kata sifat. Maregi berarti mengenyangkan.

Jaman dulu, kenyang berarti hidup dan menghidupi. Maka tak heran jika kita perhatikan, hampir semua kreasi panganan dari singkong warisan leluhur, selalu berat dan bikin kenyang. Karena kenyang berarti siap banting tulang. Walau tiwul hanya berbumbu garam agar lebih mudah ditelan.

Kini Indonesia lama telah merdeka. Setidaknya selain asinnya garam, manisnya gula sudah tidak tabu dirasakan rakyat jelata. Dan panganan dari singkong telah jadi makanan nostalgia yang manis karena telah berbumbu gula.

Seperti yang disediakan seorang 'penjual kenangan' di mulut Gang Dharmahusada I. Namun, maaf jika yang Anda temui di sana tak lagi autentik. Karena jika hanya berbumbu garam tak lagi menarik.

Salam Anak Singkong!

Kacang Romantis


Mbah Gino sore itu beraksi sendirian. Sang suami yang biasa selalu mendampingi tidak tampak.

''Nggak biasanya, kok sendirian, kakek mana, Nek?'' tanyaku.

''Lagi istirahat, Nak. Tadi juga membantu menata dagangan, kok,'' jawabnya sambil memasukkan kacang yang kupesan ke dalam timbangan.

Rasanya sudah menjadi aturan tak tertulis bagiku. Setiap melewati Gang I Gubeng Kertajaya, kurang afdol jika tidak menyapa Mbah Gino.

Ya, melihat kekompakan sepasang manusia hingga tua memberiku semangat. Untuk mencintai dan dicintai. Anugerah indah yang telah Tuhan titipkan pada Adam dan Eva. Anugerah yang kadang absurd bagi manusia.

Taman Tangga Jalan

Tangga berjalan alias eskalator di Plasa Surabaya ini bertabur bunga...

Seingatku, terakhir kali ke Plasa Surabaya tiga bulan lalu, bunga-bunga di tangga berjalan belum ditanam. Kemarin aku berkunjung lagi. Sedianya hanya mau beli oleh-oleh buat perjalanan menuju masa depan yang akhirnya urung dibeli. Ya udah, dari pada pulang dengan tangan kosong dan kecewa, mending naik-turun di tangga berjalan sambil menikmati taman bunga.

Tangga berjalan, yang dalam bahasa orang kulonan disebut eskalator. Atau Bahasa Jawa menyebutnya ondo mlaku.

Sebuah ide segar menanam bunga di tangga berjalan. Sayangnya ini cuma bunga plastik. Mungkin ke depan akan memakai tanaman sungguhan. Jika perlu kebun binatang bisa juga diimpor ke tangga berjalan ini. Kita nantikan saja.

Tunaikan Waktu Berhenti

Di balik pintu toilet ini, walau super bau, tiga orang lelap dalam tidur.

Naik kereta api... tuut... tuut... tuuuut..., siapa hendak turut? Ke Bandung... Surabaya...

Masih ingat bait-bait lagu 'Kereta Api' yang waktu TK dulu sering dinyanyikan Bu Guru. Ceria sekali lagu itu. Namun, kini lagu itu jarang terdengar. Mungkin sudah tidak up to date. Anak TK jaman sekarang lebih akrab dengan ''Cinta Cenat-cenut''-nya SM*SH.

Namun, kukira bukan saja karena kalah tenar yang membuat lagu Naik Kereta Api tidak lagi populer. Memang keceriaan naik kereta api kini telah pudar. Kelas ekonomi khususnya. Menaikinya sama saja menyiksa diri.

Seperti yang terjadi padaku beberapa waktu lalu. Yang terpaksa berdiri dan jongkok empat jam penuh di pintu toilet.

''Pergunakan waktu jalan'' tak lagi berlaku. Beberapa orang yang kebanyakan para ibu, terpaksa menahan hajatnya hingga pucat seperti mayat hidup, setelah tahu di dalam toilet yang pesing itu dipenuhi dengan orang ngorok terbuai mimpi.

''Nanti saja, Bu, kalau sedang berhenti!'' kata seorang kuli bangunan yang duduk di atas perangkat kerjanya yang ditata menyerupai kursi di dalam toilet. Bersama dua temannya, ia menguasai 'kedudukan' terhormat itu.

Sepanjang perjalanan Pekalongan-Blora, lebih dari lima kali kereta proletar ini berhenti di persimpangan. Persimpangan yang kumaksud bukan stasiun, lho. Tapi entah di mana. Yang jelas gelap. Hanya debur ombak yang menandakan laut. Atau suara gesekan daun tertiup angin yang menandakan hutan. Bagi penumpang yang naik dari Tanjung Priok, ini adalah kesempatan menunaikan hajat alami, kencing.

Salah satu persimpangan, kebetulan atau emang sudah diatur, dekat masjid. Salah seorang penumpang yang sepertinya sudah berpengalaman, berseru, ''Keretanya berhenti lama, yang mau kencing, noh ada masjid,'' Logat Jakarta-nya sangat kentara. Sejelas tulisan di topi dinas plus seragam biru donker yang ia kenakan, 'Petugas Ketertiban Pasar Tanah Abang'.

Seruan itu pun seperti bunyi peluit wasit. Berbondong-bondong penumpang menunaikan hajat di toilet masjid. Ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, semua antre berhajat.

Kembali masuk kereta, para zombie berwajah biru pucat menahan hajat pun berganti cerah sumringah. Sedikit lega walaupun isi kereta tetap penuh sesak.

Dan tiga atau empat jam kemudian akan kembali memucat seiring paksaan menunaikan hajat.

Wassalam...

#Tips ber-'kereta api proletar':
> Belilah sebotol air mineral sebelum naik kereta, usahakan di luar stasiun. Karena apa? Pajaknya mahal.
> Minum sedikit, sisanya buang. Ingat! S-E-D-I-K-I-T saja.
> Simpan botolnya dengan aman. Sedia payung sebelum hujan. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada toilet berdiri, jongkok, apalagi duduk, (mewah amat, emang hotel) botol pun jadi.

Selamat menikmati...

(Promo ini tidak disponsori perusahaan air mineral. Seratus persen hasil pangamatan tanpa teori. Banyak botol-botol air mineral yang masih utuh saat para penumpang turun. Bukannya tidak haus. Di kereta api rakyat ini, minum, walau halal dan toyib, konsekuensinya berat!

Thursday, February 24, 2011

Ngutang Dengan Bangga


Jam 00.30
''Mas, sebelumnya aku minta maaf, mau ngutang dua bungkus krengsengan,'' kataku malu-malu.

Tiga jam sebelumnya.
''Ojo lali bawakan aku maem,'' sebuah pesan pendek memasuki inbox. Rupanya Ubet Markasan sudah nongol. Tiga hari dia ngilang bagai ditelan bumi. ''Oke, setengah jam lagi aku sampai rumah,''

Beberapa saat berselang. Kulihat jam. Waduh, dua jam lebih aku melewatkan janji. Ubet mengirim pesan lagi. ''Jadi pulang?'' sebuah pertanyaan yang menyiratkan kebosanan menunggu titipan.

Segera kukebut belalang tempurku. Tak lupa mampir di kotak Auto Teller Machine. Uangku segitu-gitunya baru saja melayang dari kantong untuk bayar pulsa.

ATM pertama, setelah memasukkan nomor PIN. ''Maaf transaksi Anda tidak dapat kami proses.'' Waduh, jaringan lagi ngadat. Dasar ATM Bersama. Aku menggerutu. Dalam perjalanan pulang kusempatkan mampir di dua kotak uang lagi. Lagi-lagi jawaban mengecewakan yang kudapat.

Balik kanan, maju jalan. Karena penasaran, kuputuskan untuk mendatangi kotak ATM asli dari bank yang menerbitkan kartuku. Bank satu ini langganan orang-orang terasing. Hanya menyediakan dua ATM di kota sebesar Surabaya. Ini bank langganan orang sekantor. Entah pertimbangan bodoh macam apa yang dipikirkan HRD waktu memutuskan untuk berlangganan di bank zuhud ini.

Dengan harapan penuh kumasukkan kartu ajaibku. Dan... ''Maaf terjadi gangguan jaringan. Transaksi Anda tidak dapat kami proses.'' Gerutuku pun berubah umpatan.

Masa aku harus pulang dulu ambil uang di Ubet. Tiga jam menunggu harapan dalam kondisi kelaparan bisa mengubah temanku itu jadi Werewolf. Bisa ada atraksi orang makan orang di tengah malam yang dingin ini.

Ting..., ide cemerlang melintas. Kan ada Mas Eka, sang penjual krengsengan. Fans berat Metalica yang berpenampilan nyentrik, lho. Potongan rambutnya yang berkliwir itu menjadi ciri khasnya. Yang berani bertahan di harga Rp 6000 saat teman-temannya mematok Rp 7000. Padahal krengsengan buatannya adalah juara di sepanjang Jl. Karang Menjangan.

Mendengar permintaanku, Mas Eka hanya tertawa. ''Biasa ae, Mas. Tiap hari ketemu aja kok repot.'' katanya. Sebentar to, ini Gus Dur lagi nitis apa?

Sementara itu dua sosok perempuan kriyip-kriyip sambil ngecek mata, bercelana cekak, yang juga ngantre beli krengsengan, menertawaiku. Entah manusia atau bukan. Tengah malam gini nongol di pinggir jalan. ''Nggak tau orang lagi bokek!'' gerutuku yang kutelan membentuk senyum.

Sampai di rumah, Ubet Markasan menyambutku bersama bau khasnya. Dan kami pun makan bersama.

Salam damai, Kawan...

Monday, January 31, 2011

Ayam Panggang Sambal Salato


Jam 9.30 matahari baru terbit di rumah kami. Cahaya menyilaukan menyusup di sela-sela jendela. Beginilah akhir pekan. Teringat ide kemarin sore. Sarapan ayam bakar. Hmm... sedap dan nyaaaman... laii...

Dengan langkah yang dibikin mirip boys band yang lagi suting video klip, aku dan Ubet Markasan menyusuring gang. Menuju Pasar Karang Menjangan. Aroma khas bau badan yang menguar dari tubuh kami menambah indahnya pagi ini.

Sampai di TKP, rupanya sebagian pedagang sudah berkemas, siap pulang membawa uang. Untung saja satu dari tiga pedagang daging ayam masih setia menunggu pembeli kesiangan macam kami.

Sepuluh menit berpetualang di pasar, semua yang kami butuhkan kami dapatkan. 3/4 kg daging ayam, dua butir tomat, dua butir cabai merah, dua butir jeruk nipis, dua sacet merica, sejumput cabai rawit, sepuluh siung bawang merah, sekepal bawang putih.

Oke, sebuah menu agung faforit para dewa akan diciptakan hari ini. ''Bet, tunggu, ada yang kurang,'' kataku. ''Cari di warung dekat rumah saja,'' jawabnya. Untung ada mlijo di depan gang, sehingga jahe dan kunyit bisa kami dapatkan. Gratis lagi. Sebenarnya kami juga butuh serai, sayangnya itu baru teringat saat ada aroma yang kurang dari daging ayam dan bumbu diungkep.

Sampai di dapur, semua alat telah siap, kami pun beraksi. Ubet melembutkan bumbu yang sudah kami takar menggunakan palu. Sedangkan aku mencuci daging dan beberapa piring. Hari ini aku mendapati satu lagi kenyataan yang ada padaku. Ternyata aku tak tahan memegang daging mentah. Dingin, lembek, pucat, dan amis.
Soal meracik bumbu, mengungkep, dan membakar daging, serahkan padaku. Tapi kalau pegang daging mentah, aku menyerah.

Sejam daging diungkep. Seperempat jam daging dibakar. Selesai. Tapi, sambalnya...?!

Ubet berimprufisasi. Sebutir tomat dan cabai rawit yang tersisa ia lembutkan. Guyuran kecap mengakhiri sentuhan.

Sesi berikutnya hanya ekspresi syukur yang tergambar lewat suara umpatan nama-nama binatang dan sesekali nama tuhan.

Saturday, January 29, 2011

My Name Is Bagus Khan, I'am Not Tourist


Jalan ke sana, jalan kemari. Kalo lelah, istirahat. Kalo lapar, makan. Kalau hujan, berteduh. Kalo kebelet, ke belakang. Lapar lagi, makan lagi. Uang habis, kerja lagi. Bosan dan pengen main, jalan lagi. Indahnya hidup ini.

Perkenalkan, saya Bagus Khan, saya bukan turis, juga bukan artis, juga bukan teroris. Saya calon PNS. Sambil nunggu panggilan tugas negara, saya mengisi waktu luang dengan merintis usaha. PT Bagus Usaha Permai, itulah perusahaan masa depan saya. Selain itu, saya juga melakukan kerja iseng. Yaitu mengepalai kantor cabang sebuah lembaga multi kabupaten/kota di Jawa Timur
.

Begitu penting dan mobile-nya saya, Anda akan dengan mudah menemukan saya di acara makan gratis di kota Anda.

Sampai jumpa.

Trio Kwok-kwok


Di kala aku masih duduk di bangku SD, layar TV sering dipenuhi tiga anak kecil menyanyi dan menari, lucu dan bikin iri. Trio Kwek-kwek nama grup itu.

Dua puluh tahun berlalu. Trio penyanyi cilik itu sudah buyar. Namun di alam yang lain, dengan cara lain, berupa makhluk lain, Sebuah trio lain masih eksis. Coba menarik perhatian, meneruskan perjuangan, dengan sisa kobaran semangat.

Merekalah Trio Kwok-kwok. Tiga makhluk unik (untuk tidak mengatakan aneh) yang mengaku kece. Siap menggetarkan bumi dengan ajian pengusik gempa. Bumm...

Jika bumi berguncang dengan amplitudo antara 40 - 60 mm, segera carilah trio-merah-kuning-biru ini. Bisa jadi mereka akan memberi banyak informasi.

Salam.

Saturday, January 15, 2011

Zebi dan Aku


Entah sudah berapa abad sejak perjumpaan pertamaku dengan Zebi.

Awalnya, jaim, cuek, dan egois adalah gelar yang disematkannya padaku. Ya memang...

Sebaliknya, kuanggap Zebi aneh, berisik, labil, gak waras, lebai...

Namun seiring putaran bumi, ternyata kami jadi teman dekat. Rasanya baru kemarin. Dan besok dia akan pergi...

Ibukota akan memisahkan kami. Sampai jumpa di Taman Intan Nginden sepuluh tahun lagi...

Sunday, January 9, 2011

Kebuli Kebul-kebul...

Seporsi Nasi Kebuli siap santap

Tak sekidikit orang memuji nikmatnya nasi kebuli. Terlebih untuk yang satu ini. Beberapa pembawa acara kuliner dari TV lokal maupun nasional pernah mampir. Foto mereka berbaris di dinding kusam warung kecil yang berdiri di daerah Ampel Surabaya ini.

Lidahku memang Jawa tulen. Mencicipi masakan penuh bumbu dan rempah sudah biasa. Tak terlalu istimewa jika pada gilirannya masakan Arab mampir di mulut, dan menyentuh syaraf perasa di lidahku.

Biasa aja tuh... Kecuali nasi sarat rempah dengan kebul-kebul uap panasnya. Kecuali daging kambingnya yang lembut lepas dari tulang dan meleleh di mulut dan mengalir di kerongkongan. Kecuali kombinasi semua bahan yang dimasak dengan resep turun temurunnya. Kecuali suasana sederhana warungnya.

Ubet Markasan bilang mak nyus, enak, mantab bin lazis, sempurna. Karena dia yang traktir kubilang iya saja. Kuamini semua komentar bajakannya...

Pengawas Gendut


Sejak kembali dari Tanah Suci, jarang sekali Bu Pengawas Gendut menjenguk LMI. Sebulan ini kehadirannya bisa dihitung jari sebelah tangan. Memang sudah bukan kewajibannya lagi untuk ngantor tiap hari. Kini ia menjadi fulltimer mom bagi putra semata wayangnya, Prince Sidqi. Aku sebagai anak pungut terpaksa rela ditinggal pergi.

''Aku seneng sampeyan ke sini,'' kataku saat Bu Pengawas Gendut sowan ke padepokan LMI, Jumat minggu lalu.

''Halah..,'' sahutnya.

Kini aku sudah kangen lagi. Ingat sentilan-sentilannya yang sering ia layangkan lewat pesan pendek.

Seperti SMS dialog imajiner saat aku tak hadiri rapat.

Nrl: what the hell are you doin' overthere?
Ary: nothin' I just can't join that boring forum.
Nrl: you say "can't"? It means you're really arrogant. Still remember what our Messenger said?
Ary: well, let's see. Really sorry being snob this morning.

Lagi, saat aku mbolos tanpa kabar.

''Aslm, Ary. Masuk kan? Jam brp? Sakitkah dikau? Tentu tidak, kan? Siapa yg menyakitimu? Bukan aku, kan? Jam brp smp LMI?''

''Jadi km tidak k LMI hari ini? Kmana manusia baru itu? Apa ia telah bereinkarnasi? Oh, malangnya.''

''Oh, hijrah juga dia? Ah, pejuang kita terlalu cepat kalah.., bahkan tdk punya nyali utk menghadapi perang yg jauh lebih hebat dari Perang Badar. Bersembunyilah di bunker barumu. Temukan hidup 'nyaman'-mu dsana. Kembalilah angkat senjata jika kau merasa siap dan tak lagi meratap. Selamat hari Jumat. GOD bless you.''

Kali lain, Bu Pengawas Gendut nuturi aku dengan menungguiku lembur hingga larut. Sambil tak berhenti ngomel tentang waktu untuk keluarga, kerja profesional, menghargai orang.

Kadang ia menungguiku lembur sambil diam terpekur. Yang seperti ini, ia menegaskan, ''Aku mengorbankan waktuku buat Sidqi hanya demi kunyuk yang tak becus kerja satu ini.''

Maafkan aku Prince Sidqi. Kukembalikan Bu Pengawas Gendutmu.