Sunday, March 13, 2011

Tunaikan Waktu Berhenti

Di balik pintu toilet ini, walau super bau, tiga orang lelap dalam tidur.

Naik kereta api... tuut... tuut... tuuuut..., siapa hendak turut? Ke Bandung... Surabaya...

Masih ingat bait-bait lagu 'Kereta Api' yang waktu TK dulu sering dinyanyikan Bu Guru. Ceria sekali lagu itu. Namun, kini lagu itu jarang terdengar. Mungkin sudah tidak up to date. Anak TK jaman sekarang lebih akrab dengan ''Cinta Cenat-cenut''-nya SM*SH.

Namun, kukira bukan saja karena kalah tenar yang membuat lagu Naik Kereta Api tidak lagi populer. Memang keceriaan naik kereta api kini telah pudar. Kelas ekonomi khususnya. Menaikinya sama saja menyiksa diri.

Seperti yang terjadi padaku beberapa waktu lalu. Yang terpaksa berdiri dan jongkok empat jam penuh di pintu toilet.

''Pergunakan waktu jalan'' tak lagi berlaku. Beberapa orang yang kebanyakan para ibu, terpaksa menahan hajatnya hingga pucat seperti mayat hidup, setelah tahu di dalam toilet yang pesing itu dipenuhi dengan orang ngorok terbuai mimpi.

''Nanti saja, Bu, kalau sedang berhenti!'' kata seorang kuli bangunan yang duduk di atas perangkat kerjanya yang ditata menyerupai kursi di dalam toilet. Bersama dua temannya, ia menguasai 'kedudukan' terhormat itu.

Sepanjang perjalanan Pekalongan-Blora, lebih dari lima kali kereta proletar ini berhenti di persimpangan. Persimpangan yang kumaksud bukan stasiun, lho. Tapi entah di mana. Yang jelas gelap. Hanya debur ombak yang menandakan laut. Atau suara gesekan daun tertiup angin yang menandakan hutan. Bagi penumpang yang naik dari Tanjung Priok, ini adalah kesempatan menunaikan hajat alami, kencing.

Salah satu persimpangan, kebetulan atau emang sudah diatur, dekat masjid. Salah seorang penumpang yang sepertinya sudah berpengalaman, berseru, ''Keretanya berhenti lama, yang mau kencing, noh ada masjid,'' Logat Jakarta-nya sangat kentara. Sejelas tulisan di topi dinas plus seragam biru donker yang ia kenakan, 'Petugas Ketertiban Pasar Tanah Abang'.

Seruan itu pun seperti bunyi peluit wasit. Berbondong-bondong penumpang menunaikan hajat di toilet masjid. Ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, semua antre berhajat.

Kembali masuk kereta, para zombie berwajah biru pucat menahan hajat pun berganti cerah sumringah. Sedikit lega walaupun isi kereta tetap penuh sesak.

Dan tiga atau empat jam kemudian akan kembali memucat seiring paksaan menunaikan hajat.

Wassalam...

#Tips ber-'kereta api proletar':
> Belilah sebotol air mineral sebelum naik kereta, usahakan di luar stasiun. Karena apa? Pajaknya mahal.
> Minum sedikit, sisanya buang. Ingat! S-E-D-I-K-I-T saja.
> Simpan botolnya dengan aman. Sedia payung sebelum hujan. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada toilet berdiri, jongkok, apalagi duduk, (mewah amat, emang hotel) botol pun jadi.

Selamat menikmati...

(Promo ini tidak disponsori perusahaan air mineral. Seratus persen hasil pangamatan tanpa teori. Banyak botol-botol air mineral yang masih utuh saat para penumpang turun. Bukannya tidak haus. Di kereta api rakyat ini, minum, walau halal dan toyib, konsekuensinya berat!

4 comments:

  1. Blogwalking, nice post. Baru sekali ini masuk blog-nya om Areto. Hehehe.
    www.catatansikecil.blogdetik.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kamsia, Om Agus. Catatan si Kecil juga sangat mendidik.

      Delete
  2. Replies
    1. Waktu itu dari Pekalongan. Emang kata para sesepuh perkerataan, kereta dari arah Jakarta lewat jalur utara emang ampuuuunnn dahhh....

      Delete