Sunday, April 30, 2017

Mbah Giyem

Ialah perempuan yang suka memaksakan kehendak.

Memaksa anak-anaknya sekolah, sementara ia sendiri berjalan 30 km tiap jam 1 pagi ke kota menjajakan tempe dan tiwul buatannya, bersama suaminya yang memikul arang. Saat itu anak-anak tetangga digiring orangtuanya bekerja di sawah dan ladang. 

Bahkan ia tega mengambil kotoran sapi, dilempar ke mulut anaknya jika mereka malas sekolah. Baginya sekolah adalah masa depan.

Ia juga yang memutus sendiri urat malu, memohon pada seorang kaya di kota untuk menitipkan anak bekerja di rumah mereka, dengan SPP sekolah sebagai upah, demi bisa meneruskan pendidikannya. 

Keenam anaknya telah merasakan "ngenger" pada orang kaya di kota.

Tak hanya itu. Ia juga yang masih sempat mengajak cucunya berkebun saat libur sekolah. Menanam jagung dan kacang. Sebelum kemudian menikmati sebutir kelapa muda yang ia petik dengan batang bambu.

Dua tahun lalu ia terjatuh saat berjalan pulang. Jatuh yang biasa. Jatuh yang sebenarnya biasa ia alami waktu masih muda. Namun di usianya yang ke 88 tahun, dengan tulang yang dimakan waktu, jatuh kali ini mematahkan pangkal tulang pahanya. Memaksanya beristirahat sejenak, memulihkan semangat sebelum menunaikan rukun Islam yang kelima. Sepulang dari tanah suci, ia sering bercerita, kilasan-kilasan ingatan tentang perjalanan luar biasanya itu.

Tak lama kemudian, ia mulai malas makan. Sehari hanya beberapa suap. Badannya kecil layaknya mumi. Namun masih saja ia membikin anak-anaknya tertawa-tawa saat ditanya, nama anak-anaknya yang tak lagi ia hafal. Anak, menantu, cucu, tak henti mendoakannya.

***

Kini kau telah tiada. Meninggalkan anak-anak yang sudah jadi "orang". Juga cucu dan cicit yang akan selalu mengenang perjuanganmu.