Monday, December 20, 2010

Adu Untung


Langit Surabaya pagi ini begitu cerah. Di bawah Tugu Pahlawan yang menjulang, ribuan masyarakat Surabaya berkumpul. Dengan seragam kaos merah putih, mereka memenuhi setiap jengkal lapangan Tugu Pahlawan.

Minggu pagi ini aku bergabung dengan kerumunan orang yang sedang adu untung. Menunggu pengundian kupon dengan tak henti berharap. Semoga nomorku yang disebut.

Apalagi saat Fitri Tropika mulai menyebutkan angka-angka dan bilang, ''Semoga nomor Anda yang terpilih''. Kami tambah berharap.

Oh, voucer itu.., setrika itu.., magicom itu.., kompor gas itu.., TV LCD itu.., duit lima juta itu.., semoga jadi milikku...

Friday, December 17, 2010

Sentilan Zebi Belel


Sebuah boneka belel tiba-tiba bicara dari balik monitor komputer. Suaranya mirip kambing. Tambah aneh lagi karena belang kulitnya mirip zebra, ekornya setebal milik berang-berang, dan berwajah lebar kaya kuda nil.

''Woi, kau sudah bikin sakit hati seorang teman. Sebaiknya kau minta maaf dan cabut kata-katamu kemarin.''

Emang bilang apa aku kemarin?

Tiba-tiba aku teringat perkataan seorang teman di Boyolali. ''Ingat, dengan siapa kau bicara!'' Istilah kerennya, Verstehen: pahami pemahaman orang lain.

Ya, bercandaku keterlaluan. Maafkan aku, Teman...

Terima kasih, Zebi Belel. Semoga sentilanmu menjadi pengingat bagiku...

Sepon Samiler

Pak Sepon yang sederhana dan murah senyum.

Nyambung dengan tulisan beberapa waktu lalu tentang samiler, kali ini aku berkesempatan ngobrol langsung dengan penjualnya.

Pagi itu seorang pria paruh baya duduk di trotoar di Jl. Nginden Intan Raya Surabaya, sambil menunggui samiler dagangannya. Di kepalanya, sebuah caping gunung bertengger, melindungi si empunya dari panas dan hujan. Mungkin caping ini telah menemaninya sejak lama. Beberapa lubang menghias di beberapa bagian.

Sepon, nama pria itu. Dari Wantilgung Ngawen Blora asalnya. Anak keempat dari sepuluh bersaudara. Ayah dari tiga orang anak lulusan SD yang terpaksa tidak lanjut karena terbatas biaya.

Sepon sudah dua tahun berdagang samiler. Sebelumnya, dia narik becak di Lamongan. ''Jualan samiler lebih ringan dan mudah,'' katanya. Walau begitu narik becak tidak dia tinggalkan begitu saja.

Dua tahun jualan samiler telah memberi Sepon banyak pengalaman. Setahun lalu dia ikut temannya berjualan di Kota Malang. Namun tubuh tuanya berontak. Dinginnya malam Kota Malang tembus hingga tulang. ''Saya nggak kuat, ya sudah balik lagi ke Surabaya,'' ujar Sepon.

Pedagang samiler dari Wantilgung merambah hingga ibukota dan daerah-daerah sepanjang Jalur Pantura. Sepon bilang untuk mencapai 'daerah operasi' mereka menumpang truk dan kereta.

Samiler telah menghidupi warga kampung Sepon. Singkong hasil tani, produksi samiler, distribusi, hingga pemasaran. Semua dilakukan warga Wantilgung. Bahkan permintaan samiler yang tinggi mengharuskan Wantilgung mengimpor bertruk-truk singkong dari daerah lain.

Sayangnya samiler produksi Wantilgung tak bermerek. Hanya dibungkus plastik kresek warna kuning. Dijajakan dengan pikulan bambu. Seandainya saja dikemas dan dibranding dengan profesional. Mungkin merek 'Sepon Samiler' jadi pilihan bagus.

Atau, plastik kuning dan pikulan bambu itulah nyawa samiler. Sederhana dan jelata.

Meja Pingpong itu...


Pengikat bukan melulu berbentuk tali ataupun hukum. Meja pingpong ini misalnya. Sejak diimpor dari Rumah PINTAR awal tahun lalu, sudah tak terhitung lagi berapa, masalah, solusi, pertikaian, strategi, pertempuran, tangis, tawa, tentunya juga bola pingpong pecah, bat patah, yang telah berlalu lalang di meja ini.

Meja ini juga pemecah kebuntuan dan media penkenalan, menjamu tamu, juga penghapus status atasan-bawahan.

Sungguh sebuah meja yang tarberkati...

Monday, December 6, 2010

Kunker? Yumari...


Cerita berikut mungkin bukan konsumsi publik. Terlebih kalangan kelas bawah yang ditakutkan memancing rasa iri. Apalagi warga junior yang belum cukup umur yang bisa berakibat pendewasaan dini.

Kisah ini sepantasnya terjadi beberapa dekade lalu. Di kala baju safari masih begitu agung. Bak zirah yang tak mempan gaman.

Begini...

Rupanya penyakit kunker alias kunjungan kerja yang ditebar para wakil rakyat di pusat juga menjangkiti para pejabat di Desa Jatidiri. Dipimpin langsung oleh Kades Munan, dan diiring oleh para punggawa desa lainnya. Mari kita panggil nama mereka atu-atu... Carik Jemmy, Modin Salim, Bayan Elian, serta tiga tetangga kades yang merengek minta diajak, Debi, Novi, Ary.

Kunker kali ini berlokasi di Mojokerto. Tepatnya di sebuah padepokan terpencil di kaki pegunungan. Tujuannya, nimba ilmu melengkapi separuh agami. Yaitu, Manunggaling Iza-Adji.

Ilmu ini salah satu ilmu tertinggi. Butuh kesiapan spiritual, mental dan jasmani. Kebetulan dari ketujuh kontingen Desa Jatidiri, baru Kades Munan saja yang sudah menguasai... 

Tak lupa sebelum menuju lokasi utama, ada baiknya meniti jejak Sumpah Palapa terlebih dahulu. Trowulan, sebuah petilasan jaman kejayaan Majapahit masa lalu. Di sinilah Mahapatih Gajah Mada menggetarkan bumi dengan janjinya tujuh abad silam. ''Tak akan menikmati kenyaman hidup sebelum menyatukan Nusantara.''

Janji itu begitu digdaya. Sang Maha Pencipta pun mengabulkanya. Bertahun-tahun Gajah Mada mengarungi samudera. Menjelajah hingga negeri manca. Berbagai penakhlukan pun berhasil dilakukan. Dan tercapailah apa yang dicita-citakan.

Dari sini, rombongan Desa Jatidiri memetik dua nilai luhur. Tekat bulat dan usaha maksimal. Tinggal satu tahap untuk mencapai ilmu yang kami tuju.

Segera Kades Munan membawa anak buahnya ke tujuan utama. Untuk menyempurnakan ilmu yang sesungguhnya.

Janji yang menggetarkan Arsy, itulah Ilmu Manunggaling Iza-Adji. Bahwa pernikahan adalah ibadah pada Illahi. Inilah nilai ketiga. Inilah yang membuat Manunggaling Iza-Adji lebih dahsyat dari Sumpah Palapa Gajah Mada.

Hingga akhir perjalanan kunker, Kades Munan masih gamang. Benarkah tiga perangkat desa dan tiga tetangganya akan segera mampu mengamalkan ilmu yang baru saja diturunkan.

Wallahu'alam..bissawab..

Ps:
Paragraf kedua gak nyambung? Biarin, wekk...

Hidup Jagung Bakar!


Hayo.., siapa yang setuju kalo udara dingin dan jagung bakar emang klop...? Aku itungin neh... Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus, seribu, sejuta... Oke, semua setuju yak.. enggak ada yang protes yak...(Pak Tarno mode on)

Dan aku rasa Agung dan Sunarti, serta dua anaknya, juga temannya dan para tetangga, orangtua, mertua, pak tani, bu tani, anak tani, juga mengamini polling yang barusan.

Ya, di mana-mana tempat yang berudara dingin, jagung bakar adalah primadona. Maka tak heran jika Agung menekuni profesi sebagai penjual jagung bakar selama dua dekade. ''Sejak masih muda,'' ujar pria 42 tahun ini. Dia memang orang setempat. Sayangnya, sejak dulu ya begini. Nyaris tanpa inovasi.

Kali ini Jejak Pantofel (mulai sekarang kita sepakat memanggil blog kita tercinta: Jefel), mampir di Pacet Mojokerto. Sebuah kawasan wisata air panas di lereng Gunung Arjuno. Yang menawarkan keindahan alam, kolam air panas, air terjun, bumi perkemahan, dan berbagai out bond lainnya. Pacet memang karunia bagi warganya.

Di mana potensi ada, di situ peluang usaha dibuka. Orang-orang seperti Agung banyak yang menggantungkan hidup dari rejeki yang Allah turunkan lewat menjual jagung bakar di lokasi wisata Pacet ini. Walau hasilnya tak seberapa, mereka tetap menjalaninya. ''Yang penting cukup buat makan, dan anak-anak bisa sekolah'' kata Agung singkat.

Kini anak sulung Agung duduk di bangku SMP. Sedang adiknya masih SD. Disiapkan Agung untuk menggantikan posisinya sebagai pengusaha jagung bakar. Harapannya, agar lebih maju dan inovatif.

Mari kita buktikan saja di masa datang.

Ps:
Kalo mau tahu yang sekarang, supaya kelak bisa membandingkan, datang saja ke Pacet.
Ntar kalo udah masuk komplek wisata pemandian air panas, terus saja sampe ngelewatin jembatan kecil. Dari situ warung Agung ada di kiri jalan, urutan ke 16 kalo gak salah itung. Kalo gak nemu, tanya aja peta berjalan versi gunung (kali ini bukan abang becak tentunya, bisa gempor narik becak di gunung). Siapa lagi kalo bukan para tetangga Agung. Secara orang gunung getoh, warga sekecamatan juga hafal.

Salam.

Thursday, December 2, 2010

Onde...onde....


Sungguh, Saudara-saudara. Suatu kehormatan bagi saya bisa menikmati makanan tradisional khas Mojokerto ini. Sebutir onde-onde yang dahsyat. Ukuran boleh kecil. Tapi, begitu tahu rasanya, ketagihaaaannn...

Perut saya, dengan percaya diri tapi tidak sombong, saya akui memang lapar. Tapi sungguh, Saudara, saya tidak sedang berhalusinasi.

Kulitnya berwarna cerah, dari tepung ketan pilihan, kenyal, tipis, lembut. Hanya tangan terampil yang mampu membuat adonan sekalis ini.

Diisi kacang hijau yang manis, gurih, juga lembut. Komposisi takaran yang pas antara kacang hijau pegunungan dan gula tebu pilihan. Direbus dalam temperatur dan tempo yang teratur. Kemudian ditumbuk hingga lembut dengan penuh perhitungan.

Dan diselimuti taburan wijen tua kualitas ekspor, yang gurih. Dengan sensasi gemas saat gigi menggilas butir-butir wijen.

Tanpa sadar saya meniru cengkok dan intonasi Didin Boneng dalam salah satu film Warkop DKI, dan berucap, ''Onde...onde....''

Perfecto...

Rambu Anarkhi


Suatu pagi aku menemui ada yang baru di depan gang. Lorong sempit yang sudah hampir lima tahun kulewati tiap waktu. Kedung Pengkol VI Surabaya. Di mana itu? Hanya Tuhan dan Mozad yang tahu. Ada sebuah tanda. Huruf P dipalang merah. Anak TK juga tahu artinya. Nggak spesial banget ya?

Tapi... (Tapi kenapa?)

Lain kali akan kupasang tanda, PP dipalang merah, di sebelah rambu lama. Lho kok? Artinya bukan ''Pamong Praja dilarang'' lho ini, tapi ''Dilarang Paku Pohon''

Enak benar bikin rambu tinggal tancepin di pohon. Bukan sok cinta pohon (Trus apa?). Kalo pohonnya mati, rugi sendiri, kan. Padahal tiga tahun lalu tuh pohon kita juga yang tanam.

Emang sih, mungkin tujuannya baik. Supaya orang-orang enggak parkir sembarangan di gang sempit ini. Tapi kalo caranya salah...

Dasar rambu anarkhi!!!

Samiler

Menikmati samiler, kapan saja, di mana saja...

Atau oleh orang Gunung Kidul Jogja, disebut juga sermier. Ada juga yang menamakannya sadariah atau opak. Panganan desa konsumsi kelas jelata. Bahannya pun sederhana, singkong.

Di Surabaya banyak dijumpai samiler ini dijajakan dengan pikulan. Para penjualnya pun bisa dibilang orang-orang tua. Yang sudah menggeluti profesi ini sejak muda.

Bicara samiler adalah bicara para survivor. Mereka datang dari pelosok desa di Blora Jawa Tengah. Memikul dua kantung plastik raksasa penuh dengan samiler siap jual. Dengan menaiki kereta, mereka menuju Surabaya. Misi mereka satu, adalah secepat mungkin menghabiskan dagangan, lalu pulang. Membawa rejeki untuk nafkahi keluarga.

Namun waktu untuk menghabiskan dagangan tak cukup dua tiga hari. Bisa seminggu bahkan dua minggu. Tergantung rejeki. Yang penting banyak doa. Karena hanya Tuhan yang tahu.

Lalu di mana mereka beristirahat jika malam tiba? Jawabannya, di sarung dan kaos kaki. Soal tempat bisa di mana saja. Asal tak kena hujan, obrakan dan dipalak preman, emperan toko pun jadi. Tidur nyenyak menghimpun tenaga. Esoknya melanjutkan misi.

Bicara samiler juga mengingatkanku pada seorang teman. Samin Subeki. Pria kerempeng berkulit pucat asal Blora, teman serumahku dulu. Yang mengisi libur sekolah dan kuliah dengan memikul samiler. Kini sudah jadi PNS dia. Meninggalkan hidup sebagai penjaja samiler.

Walau telah jadi abdi negara, semoga semangat samiler terus mengalir di darahmu, Kawan... Sederhana dan merakyat...

Salam.