Thursday, February 24, 2011

Ngutang Dengan Bangga


Jam 00.30
''Mas, sebelumnya aku minta maaf, mau ngutang dua bungkus krengsengan,'' kataku malu-malu.

Tiga jam sebelumnya.
''Ojo lali bawakan aku maem,'' sebuah pesan pendek memasuki inbox. Rupanya Ubet Markasan sudah nongol. Tiga hari dia ngilang bagai ditelan bumi. ''Oke, setengah jam lagi aku sampai rumah,''

Beberapa saat berselang. Kulihat jam. Waduh, dua jam lebih aku melewatkan janji. Ubet mengirim pesan lagi. ''Jadi pulang?'' sebuah pertanyaan yang menyiratkan kebosanan menunggu titipan.

Segera kukebut belalang tempurku. Tak lupa mampir di kotak Auto Teller Machine. Uangku segitu-gitunya baru saja melayang dari kantong untuk bayar pulsa.

ATM pertama, setelah memasukkan nomor PIN. ''Maaf transaksi Anda tidak dapat kami proses.'' Waduh, jaringan lagi ngadat. Dasar ATM Bersama. Aku menggerutu. Dalam perjalanan pulang kusempatkan mampir di dua kotak uang lagi. Lagi-lagi jawaban mengecewakan yang kudapat.

Balik kanan, maju jalan. Karena penasaran, kuputuskan untuk mendatangi kotak ATM asli dari bank yang menerbitkan kartuku. Bank satu ini langganan orang-orang terasing. Hanya menyediakan dua ATM di kota sebesar Surabaya. Ini bank langganan orang sekantor. Entah pertimbangan bodoh macam apa yang dipikirkan HRD waktu memutuskan untuk berlangganan di bank zuhud ini.

Dengan harapan penuh kumasukkan kartu ajaibku. Dan... ''Maaf terjadi gangguan jaringan. Transaksi Anda tidak dapat kami proses.'' Gerutuku pun berubah umpatan.

Masa aku harus pulang dulu ambil uang di Ubet. Tiga jam menunggu harapan dalam kondisi kelaparan bisa mengubah temanku itu jadi Werewolf. Bisa ada atraksi orang makan orang di tengah malam yang dingin ini.

Ting..., ide cemerlang melintas. Kan ada Mas Eka, sang penjual krengsengan. Fans berat Metalica yang berpenampilan nyentrik, lho. Potongan rambutnya yang berkliwir itu menjadi ciri khasnya. Yang berani bertahan di harga Rp 6000 saat teman-temannya mematok Rp 7000. Padahal krengsengan buatannya adalah juara di sepanjang Jl. Karang Menjangan.

Mendengar permintaanku, Mas Eka hanya tertawa. ''Biasa ae, Mas. Tiap hari ketemu aja kok repot.'' katanya. Sebentar to, ini Gus Dur lagi nitis apa?

Sementara itu dua sosok perempuan kriyip-kriyip sambil ngecek mata, bercelana cekak, yang juga ngantre beli krengsengan, menertawaiku. Entah manusia atau bukan. Tengah malam gini nongol di pinggir jalan. ''Nggak tau orang lagi bokek!'' gerutuku yang kutelan membentuk senyum.

Sampai di rumah, Ubet Markasan menyambutku bersama bau khasnya. Dan kami pun makan bersama.

Salam damai, Kawan...