Monday, December 10, 2012

Skotel & Kroket Topping Abon

Skotel dan Kroket bikinan pacar...
Namanya tidak dikenal di bahasa Indonesia apalagi bahasa Jawa. Skotel, kroket, dll. Namun memakannya dan kemudian menceritakan pada khalayak bisa bikin merasa hebat. Dan khalayak pun mengamini. Yang tidak Indonesia, apalagi Jawa, adalah memang prestisius. Mungkin kita telah tanpa sadar tercerabut dari akar budaya.

Namun, dengan kreatifitas, yang tidak Indonesia ini bisa "dinasionalisasi". Misalnya saja seperti yang dilakukan pacar saya. Skotel dan kroket ini dikreasi dengan cermat dan cerdas, dengan dikombinasi topping abon sapi. Olahan daging sapi yang dikeringkan bersama rempah-rempah ini asli Indonesia lho... :)

Thursday, November 29, 2012

End Your Comfort Zone

Hamster berlari tapi tidak bergerak. Mungkin rutinitas hidup kita juga seperti ini.
Life Begins at the End of Your Comfort Zone

Tuesday, November 20, 2012

Timeline

Ini tentang caraku memperlakukan waktu. Ternyata mengendarainya tidak mudah. Mesin waktu punyaku tidak bisa kukendalikan. Asem! Mirip awan kinton yang tidak bisa dikendarai pemiliknya, Jin Kura-kura. Sungokulah yang lebih layak memilikinya. Bukannya asik malah jadi senjata makan tuan. Daripada ribet, toh waktuku juga jadi sia-sia hanya karena aku pengen menguasai waktu. Akhirnya kukembalikan saja mesin waktu itu ke pembuatnya.



Sekarang aku hanya bisa melihat waktu dikendalikan oleh kekuatan di luar aku. Setidaknya jejak-jejak waktu itu tergurat samar di sembarang tempat. Iseng banget sih.

Jadi kudu jeli dan hati-hati. Tapi aku jadi ingat lagi hal-hal yang sebenarnya sangat-amat-penting-sekali, yang beberapa waktu lalu aku lupa. Namanya juga manusia, Tuhan menitipkan karunia "lupa" memang.

Tentang keputusan. Kenapa memutuskan dan untuk apa memutuskan. Tentang pernikahan. Kenapa menikah dan untuk apa menikah.

1 Muharam lalu satu kalimat meluncur ditujukan padaku. "Sudah belajar membahagian perempuan rupanya," ujar temanku, iseng. Akupun menjawab, "Gini aja masih sering diprotes," jawabku sambil tertawa. Selesai.

Baru kuresapi obrolan saat itu belakangan. Aku terlalu asik dengan waktu yang ternyata bukan lagi hanya milikku. Waktuku terbagi. Eh, bukan. Aku pernah dengan sadar memutuskan untuk membaginya. Dalam sebuah ikrar yang menggetarkan langit.

Aku sudah terbukti tidak bisa mengendalikan waktu. Juga sudah tidak dikasih kesempatan lagi untuk mempelajari cara mengendalikannya. Sudah terlanjur kukembalikan mesin waktu pada si Empunya.

Memang waktuku bukan hanya milikku lagi. Sudah seharusnyalah berkompromi dengan pemilik separuh waktuku. Ya, kompromi. Bukankah permainan sepak bola dengan sebanyak itu pemain hanya berebut (mengelola) satu bola. Bukan kemudian satu bola dicuil jadi sejumlah pemain.

Betapa berharganya waktu. Asem!!!

Monday, November 12, 2012

Mengulur Waktu

Waktu tak pernah berhenti. Ia terus berdetak. Meninggalkan jejak-jejak masa lalu. Yang hanya akan jadi sejarah, cerita masa lalu yang sering kali cuma jadi dongeng pengantar tidur. Atau bahan obrolan untuk membunuh waktu itu sendiri.

Yang kutahu, banyak orang bercerita tentang betapa berharganya waktu.



Tapi aku punya mesin waktu. Yang setiap saat bisa kugunakan, untuk mempercepat, mengulur, dan mengulang sang waktu.

Maka kuputuskan, aku tak butuh penyesalan, akupun tak menentukan impian.

Akulah waktu.

Friday, August 17, 2012

Kemerdekaan bukan Ajang Rebutan

Indonesia adalah Satu.
Sungguh perjuangan para pahlawan harus kita hormati dengan tidak menjadikan kemerdekaan ini sebagai ajang rebutan. Bertobatlah kalian. Ha..ha..ha....

Wednesday, July 25, 2012

Jaburan

Pohong godog alias singkong rebus, hidangan asik selesai sholat tarawih.
Di Krambil Sawit, sebuah kampung di pedalaman Boyolali. Sewaktu masih kecil, sehabis sholat tarawih, kami selalu menantikan jaburan. Hidangan yang dibagi setelah tarawih berjamaah selesai. Biasanya cuma berupa krupuk atau pohong godog alias singkong rebus, digoreng juga oke. Minggu lalu aku pulang ke Krambil Sawit dan masih menemui ritual yang sama. Makanan yang dibagi pun masih sama, krupuk dan pohong godog.

Tuesday, June 5, 2012

Dicaplok Buto

Ketika bulan dicaplok buto...
"Tempenya habis, Bu?" tanyaku pada pedagang.
"Waduh, habis, Mas. Ada gerhana bulan soale..." jawabnya

Ada-ada saja respon masyarakat kita dalam menghadapi fenomena alam yang namanya gerhana bulan. Sampai mengganggu stabilitas persediaan tempe di toko sayuran langgananku. Kalau ditilik dari sejarah memang tidak pernah ada hubungan antara gerhana bulan dan tempe. Namun sejak peradaban manusia menemukan kepercayaan bahwa gerhana bulan adalah "bulan dimakan raksasa" maka butuh persembahan.

(foto:www.todaysphotos.org)

Tuesday, May 29, 2012

Kacamata Aparat

Kacamata aparat, bisa bikin rusak sudut pandang dan pikiran pemakainya. Waspadalah!
Tak biasanya saya berangkat ke Surabaya jam 5 pagi. Biasanya jam 3.30 sudah ngacir di kegelapan. Pagi ini beda. Badan meriang dan hidung meler. Males banget kalo harus bersin-bersin sepanjang jalan karena kedinginan. Saya pun memilih berangkat saat udara mulai dihangatkan oleh sapuan lembut sinar sang surya.

Ternyata berangkat saat matahari mulai menyingsing membuka mata saya. Jalan yang tiap akhir pekan saya lewati ternyata membujur dari barat ke timur, bukan utara-selatan seperti keyakinan saya saat malam. Mata ngantuk pun makin berat saat harus menantang matahari.

Perjalanan kali ini juga mengantar saya bernostalgia. Sepanjang jalan saya saksikan beberapa sekolah berbagai tingkat yang sedang melaksanakan upacara bendera. Khidmad sekali siswa-siswi sekolah mengikutinya. Jadi ingat ceramah-ceramah kepala sekolah dulu agar menjadi generasi penerus bangsa yang bermartabat. Memajukan negeri ini dengan kekuatan karakter dan harga diri.

Bicara soal martabat, dalam perjalanan kali ini Tuhan juga kasih saya kesempatan untuk menguji nyali, mengukur seberapa tinggi harga diri, dan menyaksikan karakter aparat -yang jika mau disebut oknum, kok banyak amat- dalam menegakkan hukum.

***

Menyeberangi perbatasan Mojokerto-Sidoarjo yang dipisahkan Sungai Brantas kita akan dihadapkan pada lintasan jalan yang berkelok-kelok, sehingga mengesankan beberapa bagian mirip. Yaitu jalan meliuk ke kanan dengan kontur tanah menurun (paling enak kalau dipakai ngebut.. he..he..). Kalau tidak salah ada enam atau tujuh kelokan di sana. Sambil menikmati antrean pemakai jalan yang sudah memadat, bolehlah sambil mengitung kelokan itu biar lebih pasti.

Kelokan pertama, sebelah utara Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, berjalan mulus. Jalan lumayan lebar dan beraspal bagus. Kelokan kedua, luman lah walau di beberapa titik aspal menyembul yang mengurangi kenyamanan. Kelokan ketiga dan keempat favorit saya, panjang dan lebar.

Kelokan berikutnya tidak terlalu asik. Selain sempit, sehingga lalu lintas sering tersendat, pinggiran aspal, di mana para pengendara motor dapat tempat, bergelombang dan berdebu.

Hitungan kelokan kelima baru mau saya lanjutkan, saat sekelompok aparat berseragam cokelat dengan rompi hijau menyala, menghentikan laju kendaraan saya. Juga beberapa pengendara motor yang lain yang saya pikir dipilih acak. Sebab banyak juga pengendara motor yang diloloskan.

"Selamat pagi," sapa petugas membuka pembicaraan (saya harap ini sebuah dialog).

"Pagi, Pak," jawab saya.

"Lampu motor Anda bisa menyala?" waduh, ternyata saya lupa tidak menyalakan lampu. Saya menjawab dengan menggerakkan jempol menekan saklar. Lampu pun menyala.

"STNK, SIM, ada?"

"Ada, Pak," segera saya rogoh saku jaket dan menyerahkan apa yang petugas itu minta.

Dengan isyarat tangan petugas itu membawa saya ke petugas lain yang sudah siap dengan bolpen dan segepok surat tilang warna-warni. Di situ sudah ada seorang bapak yang ngotot minta dikasih surat tilang warna biru.

"Kalau mau bayar denda sebesar Rp 51.000,-" ucap petugas berbolpen itu.

"Kalau bayar di bank berapa?" tanya bapak itu. Sang petugas pun menunjuk sebuah angka di surat tilang dengan bolpennya tanpa berucap. Rp 100.000,- itulah angka yang barusan ditunjuk. Saya tidak tahu maksud dia menunjuk angka itu tanpa berucap.

"Yakin mau yang biru?" tanya petugas itu lagi.

"Ya, Pak," jawab bapak itu mantab dan tegas. Mengambil surat tilang, memasukkan ke dompet dan berlalu.

Selanjutnya, giliran saya.

"Ary Sulistyo." petugas itu memanggil nama saya sambil membolak-balik SIM dan STNK. Mencari kesalahan, pikirku.

"Saya, Pak." jawab saya. Biasanya ketika dipanggil nama saya, saya akan menjawab dengan menyebut nama orang yang memanggil saya. Namun kali ini tidak kutemukan emblem nama di seragap aparat itu. Tertutupi oleh rompi hijau menyala itu.

"Bersedia mengikuti sidang atau bayar denda di sini?"

Walah, belum-belum sudah ditodong dua pilihan yang tidak akan saya pilih. Padahal seharusnya ada pilihan lain. Yaitu kartu tilang slip biru, seperti yang barusan bapak tadi minta. Artinya saya mengakui kesalahan saya dan bersedia membayar denda melalui bank.

"Kalau yang bayar denda melalui ATM atau bank itu gimana caranya, Pak?" saya berusaha bertanya, karena saya harap ini sebuah dialog.

"Ambil STNK-nya di pengadilan ya." Hadeeh... petugas ini sakit telinga atau kram otak. Pertanyaan dan jawaban tidak nyambung alias GeJe.

"Setahu saya kalau bayarnya di ATM atau bank gitu, nanti ambil STNK-nya di Polsek sini, Pak." kata saya ngeyel.

"Ambilnya di pengadilan, sana, di Sidoarjo." jawaban yang gak asik kayak gini nih yang bikin bokong keringetan.

Tidak tahu kenapa, SIM dan STNK saya dipindahtangankan ke aparat lain. Aparat baru ini pun memanggil saya cukup dengan isyarat tangan. Sungguh aparat pengayom masyarakat yang tidak tahu rasa hormat, batinku.

Adegan berikutnya seperti yang biasa saya lihat di pinggir-pinggir jalan. Sang aparat segera mengambil segepok surat tilang kumal dan sebilah bolpen dari sepatu butnya yang tinggi. Sangat cekatan. Sepertinya ia begitu terlatih untuk gerakan yang satu ini. Mungkin dia sudah sangat sering beraksi di pinggir-pinggir jalan menakut-nakuti pengendara yang melakukan kesalahan. Dan cara ini memang terbukti manjur. Apalagi jika diikuti kalimat yang juga dia ucapkan kepada saya.

"Tahu kesalahannya?" tanyanya sambil menulis di kartu tilang.

Wih, garang sekali aparat yang satu ini. Apalagi kacamata hitam lebar menyembunyikan jati dirinya. Terlihat kumis hitam tebal sehingga tampak mendominasi wajahnya yang tertutupi helm dan kacamata.  Polisi ini menulis sesuatu, bukankah polisi yang tadi sudah sempat bikin coret-coretan di kertas kartu tilang. Lha kok yang ini corat-coret lagi di kartu tilang berbeda. Ah, paling persediaan kartu tilang di kantornya masih banyak. Jadi bukan masalah kalau hanya menghamburkan kertas warna-warni ini dua atau tiga lembar saja.

"Kalau ikut sidang, di pengadilan besuk tanggal (dia menyebut tanggal yang saya lupa), kalau bayar denda di sini Rp 51.000,-" Widiiih, kompak bener, udah janjian kali. Semua pelanggaran tarif "damai"-nya segitu.

"Kalau bayar lewat ATM atau bank gitu gimana, Pak?" pertanyaan ini belum akan selesai sebelum ada jawaban yang benar. Memang ini bukan tes soal-jawaban. Saya menganggap ini dialog. Dan sebaiknya begitu.

"Kamu mau bayar di bank? Ambil STNK-nya tetep di pengadilan," katanya.

Wow, sepertinya "ambil STNK di pengadilan" telah disepakati menjadi jurus pamungkas jika si tertilang tidak bersedia bayar denda di tempat.

Selain itu, kata "kamu" sungguh tidak pas dalam konteks ini. Saya bukannya ingin dihormati, namun kali ini akan lebih tepat jika aparat itu memakai kata Anda, Bapak, atau Ibu dalam komunikasi antar orang yang saling menghormati. Dan ini membuat saya gerah. Saya tidak akan melepas petugas macam ini begitu saja.

"Maaf, Pak. Bisa kacamatanya dilepas?" Pinta saya.

Terus terang, sejak tadi saya tidak nyaman berbicara dengan orang yang bersembunyi di balik topeng macam ini. Berdiri di tempat yang lebih tinggi agar bisa mendominasi, tidak melepas kacamata hitam untuk menutupi jati dirinya.

"Apa hubungannya? Mata saya silau!" nadanya meninggi.

Saya diam, menunggu petugas itu melepas kacamata. Sambil mengeluarkan HP dan menyiapkan mode kamera.

"Bisa lepas kacamata, Bapak? Saya tidak nyaman berbicara dengan Bapak yang berkacamata," sekali lagi dan kali ini nadaku lebih ketus.

Tidak memenuhi permintaan saya, ia malah mulai nyerocos. Dan "klik...", satu jepretan pas di mukanya. Selanjutnya adegan yang tidak akan saya lupakan sampai besuk pagi. Yaitu, ucapannya berubah jadi umpatan. Segala macam jurus mengumpat ia keluarkan. Pertunjukan ini pun disaksikan oleh segenap pemakai jalan yang begitu padat dan macet. Saya berhasil memancing emosi aparat tak punya rasa hormat ini.

Hampir saja ia menyambar HP dari tangan saya. Namun tidak kena karena tempatnya berdiri terlalu tinggi dan jauh terhalang motor gede-nya. Saya mundur, tertunduk, selain itu saya juga takut. Namun segera sadar ini tempat ramai dan dia berseragam.

Tak lama berselang seorang petugas tinggi besar menarik saya dan berbicara dengan lebih lembut.

"Apa maksud sampeyan moto-moto?" tanyanya.

Belum sempat saya menjawab, petugas yang satu ini terus melanjutkan bicaranya. Saya tahu, dia bukan pendengar yang baik. Dia merasa jadi penengah dan kini sedang berceramah. Ya sudah, kudengar saja.

"Kami sudah sejak pagi berdiri di jalanan yang panas gini. Jangan dibikin tambah panas. Tolong hapus fotonya, dia (petugas yang mengumpat) dari Brimob. Gak enak kalo ribut-ribut gini."

Saya pun bermaksud ingin menghapus foto itu. Tapi aparat pengumpat tadi ingin menghapusnya sendiri. Sementara aparat pengumpat sibuk dengan HP saya. Petugas tinggi besar melanjutkan pembicaraannya.

"Masnya kerja di mana?

Yah, sepertinya keasikan ini akan segera berakhir.

"Saya kerja di majalah, Pak," jawab saya.

***

Perjalanan menuju Surabaya masih jauh. Masih melewati beberapa sekolahan yang telah menyelesaikan upacara bendera. Kini tinggal Sang Merah Putih berkibar-kibar tertiup angin pancaroba. Mendekati Surabaya, jalan makin padat. Sesekali berhenti untuk jalan beberapa meter dan berhenti lagi. Suasana jenuh, panas, dan haus mengingatkan upacara bendera yang dulu saya ikuti. Saat kepala sekolah tak henti-hentinya menceramahi kami tentang harga diri dan kekuatan karakter untuk membentuk martabat kami.

Ternyata saya tidak lebih baik dari aparat pengumpat itu. Saya menikmati ketika bisa melenggang melanjutkan perjanan tanpa ditilang. Padahal jelas saya bersalah telah tidak menyalakan lampu di siang hari yang terik dan silaunya bikin aparat harus berkacamata.



______________________________
Ternyata foto aparat pengumpat itu tidak hilang dari HP saya. Entah apa maksudnya, ingin dijadikan kenang-kenangan untuk saya, atau dia memang belum kenal dengan kata berbahasa Inggris bertuliskan "delete". Wallahu 'alam bisawab...

Tuesday, May 22, 2012

Studio Darurat

Mantafff...
Lampu belajar sisa kuliah, piring saji seadanya, alas piring dari souvenir nikah teman, bersenjatakan Canon 600D lensa 18-55 mm pinjaman, plus PeDe tingkat dewa.

Panggilan kali ini dari empunya Lumpia Bakar Aisya. Hasilnya, not bad...

Friday, March 9, 2012

Menjadi "Peminta-minta" Berkelas

Berbagai macam kotak ajaib menawarkan surga

Jaman sekarang, yang penting adalah pencitraan. Apapun profesinya yang penting tampil meyakinkan. Bahkan "peminta-minta" pun kudu berkelas.

Lihatlah persaingan kotak ajaib yang berebut perhatian di atas. Tujuannya satu, mengundang sebanyak mungkin orang untuk menunaikan sebagian tanggung jawab sosialnya. Beramal.

Kotak ajaib macam ini biasa kita temui di mana-mana. Pembuatnya organisasi-organisasi sosial. Yang kalau kebetulan amanah, dana hasil "minta-minta" ini akan menjadi energi besar mengentaskan rakyat jelata dari derita.

Dan saat ini saya menginfakkan sebagian waktu sebagai "peminta-minta" berkelas. Tujuannya mulia. Membantu si kaya menunaikan kewajibannya. Dan memastikan si miskin mendapatkan haknya.

Mari Peduli untuk Berbagi. ;-)

Monday, January 30, 2012

Bukan Pembalut (2)

Apa sih di dunia ini yang nggak dibikin sama China?
Di dunia ini Tuhan hanya menciptakan 2 hal : "Makhluk" dan "Akal". Sisanya buatan Cina...

To be continued

Sunday, January 29, 2012

Hitamnya Rawon

Rawon Mojoagung, terletak di pinggir jalan Mojoagung-Ngoro.

Sepuluh tahun yang lalu saya berkenalan dengan rawon. Kuliner asal Surabaya yang khas dengan racikan bumbu yang pekat dan kuah hitam kluwek. Pada pandangan pertama saya merasa ini bukan makanan yang layak mengganjal perut. Warnanya yang gelap terasa tidak manusiawi.

Apalagi kala itu rawon yang disuguhkan adalah hasil karya Mbah Ti, mertua pamanku yang mantan koki. Ia memang terkenal berani dalam meracik bumbu.

Namun masakan Mbah Ti sungguh luar biasa. Hitamnya kluwek kalah oleh aroma yang begitu menggoda. Karena penasaran, kucicipi juga masakan aneh itu. Kini aku menjadi penikmat rawon.

Di kesempatan lain, seorang teman kuliah mengajakku mencicipi rawon terkenal di Kota Pahlawan ini. Bahkan Pak Bondan Si Tukang Wisata Kuliner memberikan predikat "mak nyus". Mungkin Anda sudah tahu depot rawon di Jl. Embong Malang, Surabaya ini. Ya, Rawon Setan.

Setengah tahun terakhir aku sedang menggandrungi Rawon Mojoagung yang terletak sekitar satu kilo meter di sebelah selatan Tugu Bambu Runcing Mojoagung Jombang. Kebetulan jalurku sambang mertua, Surbaya-Kediri, melewatinya. Walau tempatnya sederhana dan pelanggannya kebanyakan kru armada truk antar kota, rawon yang satu ini layak Anda coba. Insyaallah, mak nyus...

Friday, January 27, 2012

Kekasih Dunia Maya


Dari internet turun ke hati. Waspadailah kekasih dunia maya ! ! !
Oleh: Bunda Adib

Kadang jika kita hanya sekedar menyampaikan untaian nasehat, mungkin sebagian orang belum tersentuh. Namun tatkala dikemukakan sebuah kisah, barulah hati kita mulai tersentuh dan baru bisa menarik pelajaran. Semoga kisah berikut bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.

Kisah Bincang-bincang Seorang Istri di Dunia Maya

Kisah ini terjadi di Lebanon berdasarkan apa yang saya dengar lewat kajian bersama ustadz di majelis ilmu syar’i … Ustadz menguraikan kisah ini agar bisa menjadi perhatian bagi muslimah di sini (Sydney) agar mereka berhati-hati terhadap chatting ini dan tidak melayani sapaan dari laki-laki yang suka iseng menggoda lewat chatting ini…

Beliau adalah seorang wanita muslimah yang alhamdulillah Allah karuniakan kepadanya seorang suami yang baik akhlak dan budi pekertinya. Di rumah ia pun memilki komputer sebagaimana keluarga muslim lainnya di mana komputer bukan lagi merupakan barang mewah di Lebanon. Sang suami pun mengajari bagaimana menggunakan fasilitas ini yang akhirnya ia pun mahir bermain internet. Yang akhirnya ia pun mahir pula chatting dengan kawan-kawanya sesama muslimah.

Awalnya ia hanya chatting dengan rekannya sesama muslimah, … hingga pada suatu hari ia disapa oleh seorang laki-laki yang mengaku sama-sama tinggal dikota beliau.Terkesan dengan gaya tulisannya yang enak dibaca dan terkesan ramah. Sang muslimah yang telah bersuami ini akhirnya tergoda pada lelaki tersebut.

Bila sang suami sibuk bekerja untuk mengisi kekosongan waktunya, ia akhirnya menghabiskan waktu bersama dengan lelaki itu lewat chatting, … sampai sang suami menegurnya setiba dari kerja mengapa ia tetap sibuk di internet. Sang istri pun membalas bahwa ia merasa bosan karena suaminya selalu sibuk bekerja dan ia merasa kesepian, … ia merahasiakan dengan siapa ia chatting .. khawatir bila suaminya tahu maka ia akan dilarang main internet lagi…. Sungguh ia telah kecanduan berchatting ria dengan lelaki tersebut.

Fitnah pun semakin terjadi di dalam hatinya, .. ia melihat sosok suaminya sungguh jauh berbeda dengan lelaki tersebut, enak diajak berkomunikasi, senang bercanda dan sejuta keindahan lainnya di mana setan telah mengukir begitu indah di dalam lubuk hatinya.

Duhai fitnah asmara semakin membara, … ketika ia chatting lagi sang laki-laki itu pun tambah menggodanya, .. ia pun ingin bertemu empat mata dengannya. Gembiralah hatinya, .. ia pun memenuhi keinginan lelaki tersebut untuk berjumpa. Jadilah mereka berjumpa dalam sebuah restoran, lewat pembiacaran via darat mereka jadi lebih akrab. Dari pertemuan itu akhirnya dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya.

Hingga akhirnya si lelaki tersebut telah berhasil menawan hatinya. Sang suami yang menasehati agar ia tidak lama-lama main internet tidak digubrisnya. Akhirnya suami wanita ini menjual komputer tersebut karena kesal nasehatnya tidak di dengar, lalu apa yang terjadi ?? Langkah itu (menjual komputer) membuat marah sang istri yang akhirnya ia pun meminta cerai dari suaminya. Sungguh ia masih teringat percakapan manis dengan laki-laki tersebut yang menyatakan bahwa ia sangatlah mencintai dirinya, dan ia berjanji akan menikahinya apabila ia bercerai dari suaminya.

Sang suami yang sangat mencintai istrinya tersebut tentu saja menolak keputusan cerai itu. Karena terus didesak sang istri akhirnya ia pun dengan berat hati menceraikan istrinya. Sungguh betapa hebatnya fitnah lelaki itu. Singkatnya setelah ia selesai cerai dengan suaminya ia pun menemui lelaki tersebut dan memberitahukan kabar gembira tentang statusnya sekarang yang telah menjadi janda. Lalu apakah si lelaki itu mau menikahinya sebagaimana janjinya???

Ya ukhti muslimah dengarlah penuturan kisah tragis ini, … dengan tegasnya si lelaki itu berkata, “Tidak!! Aku tidak mau menikahimu! Aku hanya mengujimu sejauh mana engkau mencintai suamimu,ternyata engkau hanyalah seorang wanita yang tidak setia kepada suami. Dan, aku takut bila aku menikahimu nantinya engkau tidak akan setia kepadaku! Bukan ,..bukan..wanita sepertimu yang aku cari, aku mendambakan seorang istri yang setia dan taat kepada suaminya..!”

Lalu ia pun berdiri meninggalkan wanita ini, .. sang wanita dengan isak tangis yang tidak tertahan inipun akhirnya menemui ustadz tadi dan menceritakan Kisahnya…. Ia pun merasa malu untuk meminta rujuk kembali dengan suaminya yang dulu … mengingat betapa buruknya dia melayani suaminya dan telah menjadi istri yang tidak setia.

(tulisan ini saya kopas dengan ijin sepihak untuk tujuan baik)

Wednesday, January 25, 2012

Kyai Slamet, Si Motor Antik

Kyai Slamet sedang ngikuti kontes kecantikan

Entah sudah berapa juta mil jarak yang ditempuh Kyai Slamet (yang ini bukan kerbaunya Kraton Surakarta lho...). Yang jelas jauh sebelum kutunggangi, seorang bapak tua di Banyudono, Boyolali sana telah mengendarai motor antik ini selama sewindu. Baru saat aku menginjak usia 17 tahun, seiring syarat untuk boleh mengantongi Surat Ijin Mengemudi (SIM), Kyai Slamet berpindah ke tanganku. Walau waktu itu aku tak langsung mengurus salah satu kartu anti tilang itu. Sebab kepindahan Kyai Slamet ke tanganku bukan karena aku sudah punya SIM. Sebagaimana umumnya para pengandara di negeri kita tercinta, Indonesia.

Saat itu aku duduk dibangku kelas satu SMA 1 Simo, menjelang kenaikan kelas. Walau sekolah ndeso, soal gaya nggak mau kalah sama yang di TV. Saat itu juga aku baru belajar naik motor. Teman-teman bilang, motor pertama kok bekas. Tepat seperti Samuel James Witwicky, yang malu diejek teman-temannya saat dibelikan sebuah Chevy Camaro butut yang ternyata seekor robot alein bernama Bumblebee. Begitu juga keberkahan yang hadir bersama Kyai Slamet. Honda Astrea Star keluaran tahun 1992 ini walau butut masih mampu degeber hingga 95 km/jam. Apalagi saat musim hujan tiba. Ketika motor-motor lain yang relatif baru mogok kena hujan, Kyai Slamet dengan percaya diri melenggang di jalan yang banjir hingga menutupi knalpot.

Hingga kini Kyai Slamet masih setia menemaniku.

Tuesday, January 17, 2012

Pakaian Sang Ulama

Silakan pilih pakainan Anda. Hati-hati disangka partisan. He..he...


Oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc.


Seorang mufti diutamakan berpenampilan yang khas dan lazim oleh masyarakat luas sebagai seorang pemberi fatwa. Tentu tidak harus pakaian yang mewah atau mahal, juga tidak perlu mengada-ada, sehingga malah lebih mirip badut atau tukang sulap. 

a. Pakaian Syar'i

Yang utama dari pakaian seorang mufti tentu pakaian yang syar'i, yaitu menutup aurat, tidak menyerupai pakaian orang kafir atau lawan jenis, juga bukan merupakan pakaian yang menggambarkan sifat riya', 'ujub dan sombong. 

Dan ketentuan lain adalah bahan pakaian itu harus bebas dari emas dan sutera bagi yang laki-laki, namun tidak mengapa bagi wanita.

b. Pakaian Khas

Selain harus syar'i, tentu pakaian khas mufti harus khas, agar masyarakat mudah mengenali mereka, dan tidak salah alamat ketika bertanya tentang masalah agama.

Sekedar catatan, dahulu para ulama memang mudah dikenali dari kostumnya yang berbeda dari masyarakat awam. Tentu hal ini bukan dalam rangka riya', cari sensasi tapi kosong isi. Tetapi fungsinya agar orang tidak salah ketika bertanya kepada para ulama, karena mereka punya kostum yang khas.

Kira-kira perbandingannya adalah dalam masalah pelayanan umum dan menjaga keamanan, kita ini membutuhkan polisi. Kalau polisi tidak pakai seragam, lantas bagaimana masyarakat bisa mengenalinya? 

Oleh karena itu, wajar bila polisi mengenakan seragam tertentu. Dan polisi harus bangga dengan seragamnya itu dalam arti yang positif. Polisi yang baik tentu mengerti bahwa seragamnya itu dikenakan bukan sekedar untuk jual tampang atau bangga-banggaan. Di balik seragam itu ada tanggung jawab yang besar, moral yang tinggi, serta pengabdian kepada masyarakat yang mendalam. 

Demikian juga para ulama di masa lalu, mereka punya ciri khas seperti jubah panjang dengan sorban dan sebagainya. Namun boleh jadi kostum dan atribut para mufti ini berbeda-beda pada tiap-tiap negeri, karena faktor budaya dan 'urf lokal. Maka apa yang mereka kenakan di suatu negeri boleh jadi berbeda dengan yang dikenakan di negeri yang lain.

Yang dikenakan oleh para masyaikh Al-Azhar hari ini adalah jubah panjang lengkap dengan torbus atau kopiah merah yang dililit dengan sorban putih. Kemana pun di dunia ini, kalau kita bertemu dengan orang dengan kostum seperti ini, kita bisa menebak dengan tepat bahwa beliau adalah min abna'il-azhar. 

Kalau di negeri kita, khas pakaian para ulama di masa lalu tentu sarung, baju koko, kopiah atau sorban yang melilit kepala, serta rida', yaitu sorban yang diselempangkan ke pundak. Walau pun atribut seperti ini sebenarnya tidak baku, karena ada sebagian yang juga mengenakan jas dan celana panjang. 

Tetapi baju gamis model Pakistan yang panjangnya sampai paha atau lutut, serta celana panjang yang potongannya lebar tapi panjangnya cuma separuh dari umumnya celana panjang yang kita, atau biasa disebut cingkrang jauh di atas mata kaki, bukan khas Indonesia. Model seperti lebih merupakan model impor yang baru saja dilakukan oleh anak muda zaman sekarang.

Namun intinya, kostum dan atribut itu dikenakan untuk memudahkan orang mengenal para mufti, agar mudah ditemui untuk kita dapatkan ilmunya atau untuk bisa dimintai penjelasannya.

Sayangnya oleh mereka yang kurang ilmu, seragam khas para ulama ini lantas dijadikan kontes mode bagaikan peragaan busana. Mereka yang bukan ulama, tidak pernah berguru dengan benar, tidak punya kafaah syar'i bahkan tidak bisa bahasa Arab, tanpa rasa malu naik ke atas catwalk dan mondar-mandir kesana kemari, berlanggak seperti ulama dengan kostumnya, lalu berlenggak-lenggok dengan sangat pe-de-nya. Sayang sekali mereka tidak tahu, bahwa pakaian itu dahulu adalah pakaian yang tidak boleh dikenakan oleh sembarang orang. 

Ibarat seragam polisi, meski memang bisa saja membeli seragam itu dengan murah di bilangan Pasar Senen Jakarta. Tapi kalau seragam itu kita pakai, lantas kita berdiri di perempatan jalan, maka kita harus siap-siap diciduk oleh polisi yang asli. Kita akan dikenakan pasal berlapis, karena telah memakai seragam polisi, padahal kita bukan polisi.

Sayangnya, di masa sekarang ini, seragam para ulama itu telah kehilangan makna. Mereka yang bukan ulama, agak rajin mengenakan pakaian ulama. Sebaliknya, mereka yang sesungguhnya punya kapasitas sebagai ulama, umumnya malah merasa rendah hati untuk tidak mengenakannya.

Namun sebenarnya masalah ini bukan tidak ada jalan keluarnya. Toh kita masih mengenali para ulama ini lewat tulisan ilmiyah mereka. Sebab tulisan mereka itu adalah salah satu jati diri mereka, yang dengan mudah bisa kita uji isi dan materinya. 

Dan untuk ukuran hari ini, nampaknya akan jauh lebih mudah kita mengenali para ulama dan mufti lewat karya mereka, dan bukan lewat busana mereka.

Bukankah kita mengenal Dr. Yusuf Al-Qaradawi lebih karena kita membaca tulisan beliau, ketimbang pakaiannya. Bukankah kita membaca dulu 11 jilid kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, baru kemudian kita kenal wajah Dr. Wahbah Az-Zuhaili dengan pakaiannya. Dan bukankah kita lebih kenal 11 jilid kitab Al-Mufashshal karya Dr. Abdul Karim Zaidan, sementara sosok wajahnya saja belum pernah kita lihat.

Para ulama zaman sekarang bisa dengan mudah kita kenali lewat tulisan ilmiyah mereka yang berbobot, bukan lagi lewat busananya.


(Tulisan ini saya kopas dengan ijin sepihak)

Saturday, January 14, 2012

Nubruk Si Arvi

Si Arvi macam inilah yang kutabrak tadi.
Gerimis membasahi jalanan Surabaya sejak siang tadi. Menjelang sore, rintik hujan belum juga reda. Entah mengapa aku memilih tidak memakai jas hujan walau tetes air dari langit itu masih cukup rapat. "Ah, tidak jauh lagi...," pikirku. Sempat berhenti dua kali, menimbang lagi pakai jas hujan atau tidak ya. Ah, tidak jauh lagi... Ternyata yang tak jauh lagi inilah yang akhirnya membuatku harus berpikir lebih jauh lagi. Di pertigaan itu kutubruk Si Arvi.

Kemarin kami membincangkan Si Arvi. Ia sosok yang ramah lingkungan. Penghargaan Ramah Lingkungan dari Kementrian Lingkungan Hidup disabetnya pada evaluasi penataan baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan KLH pada Mei-Agustus 2011.

Entah apa karena aku sudah nggak sabar untuk memilikinya, aku jadi menubruknya siang tadi. Walhasil, tangan dan kakiku lecet-lecet...