Ini tentang caraku memperlakukan waktu. Ternyata mengendarainya tidak mudah. Mesin waktu punyaku tidak bisa kukendalikan. Asem! Mirip awan kinton yang tidak bisa dikendarai pemiliknya, Jin Kura-kura. Sungokulah yang lebih layak memilikinya. Bukannya asik malah jadi senjata makan tuan. Daripada ribet, toh waktuku juga jadi sia-sia hanya karena aku pengen menguasai waktu. Akhirnya kukembalikan saja mesin waktu itu ke pembuatnya.
Sekarang aku hanya bisa melihat waktu dikendalikan oleh kekuatan di luar aku. Setidaknya jejak-jejak waktu itu tergurat samar di sembarang tempat. Iseng banget sih.
Jadi kudu jeli dan hati-hati. Tapi aku jadi ingat lagi hal-hal yang sebenarnya sangat-amat-penting-sekali, yang beberapa waktu lalu aku lupa. Namanya juga manusia, Tuhan menitipkan karunia "lupa" memang.
Tentang keputusan. Kenapa memutuskan dan untuk apa memutuskan. Tentang pernikahan. Kenapa menikah dan untuk apa menikah.
1 Muharam lalu satu kalimat meluncur ditujukan padaku. "Sudah belajar membahagian perempuan rupanya," ujar temanku, iseng. Akupun menjawab, "Gini aja masih sering diprotes," jawabku sambil tertawa. Selesai.
Baru kuresapi obrolan saat itu belakangan. Aku terlalu asik dengan waktu yang ternyata bukan lagi hanya milikku. Waktuku terbagi. Eh, bukan. Aku pernah dengan sadar memutuskan untuk membaginya. Dalam sebuah ikrar yang menggetarkan langit.
Aku sudah terbukti tidak bisa mengendalikan waktu. Juga sudah tidak dikasih kesempatan lagi untuk mempelajari cara mengendalikannya. Sudah terlanjur kukembalikan mesin waktu pada si Empunya.
Memang waktuku bukan hanya milikku lagi. Sudah seharusnyalah berkompromi dengan pemilik separuh waktuku. Ya, kompromi. Bukankah permainan sepak bola dengan sebanyak itu pemain hanya berebut (mengelola) satu bola. Bukan kemudian satu bola dicuil jadi sejumlah pemain.
Betapa berharganya waktu. Asem!!!
No comments:
Post a Comment