Sunday, March 13, 2011

Galeri Jalanan


Perajin pigora, seperti perajin kayu lainnya, selalu menampilkan hasil seninya sebagai pajangan. Bedanya, jika pembuat lemari tidak menyertakan gantungan plus baju sebagai display produknya. Pembuat meja makan tidak menyertakan menu makanan. Pembuat pigora akan aneh dan tidak menarik jika tidak menyertakan foto atau lukisan.

 Dan yang paling khas, foto Bung Karno, Iwan Fals, Bob Marley, Che Guevara, dan juga The Beatles selalu mejeng di galeri jalanan ini.

Coba deh perhatikan.

Kuliner Nostalgia

Sedia tiwul, srawut, gempo, bemblong, gathot.

Jaman perjuangan meninggalkan banyak cerita. Hampir semua berkisah tentang kesedihan. Dari pakaian berbahan karung goni, makanan dari pokok pisang, juga bambu runcing lawan senapan.

Satu yang tak kalah dramatis adalah kemewahan makan makanan berbahan singkong. Seperti tiwul, srawut, gemblong, gempo, bakmi.

"Panganan kok ora maregi," kata embah saat melihatku memakan jajanan instan. Saat mendengar komentar itu dua puluh tahun lalu, aku hanya mencibir. Kini baru kusadari, kata-kata itu begitu dalam.

'Maregi', asal kata 'wareg' yang berarti kenyang, dengan awalan me- dan akhiran -i membentuk kata sifat. Maregi berarti mengenyangkan.

Jaman dulu, kenyang berarti hidup dan menghidupi. Maka tak heran jika kita perhatikan, hampir semua kreasi panganan dari singkong warisan leluhur, selalu berat dan bikin kenyang. Karena kenyang berarti siap banting tulang. Walau tiwul hanya berbumbu garam agar lebih mudah ditelan.

Kini Indonesia lama telah merdeka. Setidaknya selain asinnya garam, manisnya gula sudah tidak tabu dirasakan rakyat jelata. Dan panganan dari singkong telah jadi makanan nostalgia yang manis karena telah berbumbu gula.

Seperti yang disediakan seorang 'penjual kenangan' di mulut Gang Dharmahusada I. Namun, maaf jika yang Anda temui di sana tak lagi autentik. Karena jika hanya berbumbu garam tak lagi menarik.

Salam Anak Singkong!

Kacang Romantis


Mbah Gino sore itu beraksi sendirian. Sang suami yang biasa selalu mendampingi tidak tampak.

''Nggak biasanya, kok sendirian, kakek mana, Nek?'' tanyaku.

''Lagi istirahat, Nak. Tadi juga membantu menata dagangan, kok,'' jawabnya sambil memasukkan kacang yang kupesan ke dalam timbangan.

Rasanya sudah menjadi aturan tak tertulis bagiku. Setiap melewati Gang I Gubeng Kertajaya, kurang afdol jika tidak menyapa Mbah Gino.

Ya, melihat kekompakan sepasang manusia hingga tua memberiku semangat. Untuk mencintai dan dicintai. Anugerah indah yang telah Tuhan titipkan pada Adam dan Eva. Anugerah yang kadang absurd bagi manusia.

Taman Tangga Jalan

Tangga berjalan alias eskalator di Plasa Surabaya ini bertabur bunga...

Seingatku, terakhir kali ke Plasa Surabaya tiga bulan lalu, bunga-bunga di tangga berjalan belum ditanam. Kemarin aku berkunjung lagi. Sedianya hanya mau beli oleh-oleh buat perjalanan menuju masa depan yang akhirnya urung dibeli. Ya udah, dari pada pulang dengan tangan kosong dan kecewa, mending naik-turun di tangga berjalan sambil menikmati taman bunga.

Tangga berjalan, yang dalam bahasa orang kulonan disebut eskalator. Atau Bahasa Jawa menyebutnya ondo mlaku.

Sebuah ide segar menanam bunga di tangga berjalan. Sayangnya ini cuma bunga plastik. Mungkin ke depan akan memakai tanaman sungguhan. Jika perlu kebun binatang bisa juga diimpor ke tangga berjalan ini. Kita nantikan saja.

Tunaikan Waktu Berhenti

Di balik pintu toilet ini, walau super bau, tiga orang lelap dalam tidur.

Naik kereta api... tuut... tuut... tuuuut..., siapa hendak turut? Ke Bandung... Surabaya...

Masih ingat bait-bait lagu 'Kereta Api' yang waktu TK dulu sering dinyanyikan Bu Guru. Ceria sekali lagu itu. Namun, kini lagu itu jarang terdengar. Mungkin sudah tidak up to date. Anak TK jaman sekarang lebih akrab dengan ''Cinta Cenat-cenut''-nya SM*SH.

Namun, kukira bukan saja karena kalah tenar yang membuat lagu Naik Kereta Api tidak lagi populer. Memang keceriaan naik kereta api kini telah pudar. Kelas ekonomi khususnya. Menaikinya sama saja menyiksa diri.

Seperti yang terjadi padaku beberapa waktu lalu. Yang terpaksa berdiri dan jongkok empat jam penuh di pintu toilet.

''Pergunakan waktu jalan'' tak lagi berlaku. Beberapa orang yang kebanyakan para ibu, terpaksa menahan hajatnya hingga pucat seperti mayat hidup, setelah tahu di dalam toilet yang pesing itu dipenuhi dengan orang ngorok terbuai mimpi.

''Nanti saja, Bu, kalau sedang berhenti!'' kata seorang kuli bangunan yang duduk di atas perangkat kerjanya yang ditata menyerupai kursi di dalam toilet. Bersama dua temannya, ia menguasai 'kedudukan' terhormat itu.

Sepanjang perjalanan Pekalongan-Blora, lebih dari lima kali kereta proletar ini berhenti di persimpangan. Persimpangan yang kumaksud bukan stasiun, lho. Tapi entah di mana. Yang jelas gelap. Hanya debur ombak yang menandakan laut. Atau suara gesekan daun tertiup angin yang menandakan hutan. Bagi penumpang yang naik dari Tanjung Priok, ini adalah kesempatan menunaikan hajat alami, kencing.

Salah satu persimpangan, kebetulan atau emang sudah diatur, dekat masjid. Salah seorang penumpang yang sepertinya sudah berpengalaman, berseru, ''Keretanya berhenti lama, yang mau kencing, noh ada masjid,'' Logat Jakarta-nya sangat kentara. Sejelas tulisan di topi dinas plus seragam biru donker yang ia kenakan, 'Petugas Ketertiban Pasar Tanah Abang'.

Seruan itu pun seperti bunyi peluit wasit. Berbondong-bondong penumpang menunaikan hajat di toilet masjid. Ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, semua antre berhajat.

Kembali masuk kereta, para zombie berwajah biru pucat menahan hajat pun berganti cerah sumringah. Sedikit lega walaupun isi kereta tetap penuh sesak.

Dan tiga atau empat jam kemudian akan kembali memucat seiring paksaan menunaikan hajat.

Wassalam...

#Tips ber-'kereta api proletar':
> Belilah sebotol air mineral sebelum naik kereta, usahakan di luar stasiun. Karena apa? Pajaknya mahal.
> Minum sedikit, sisanya buang. Ingat! S-E-D-I-K-I-T saja.
> Simpan botolnya dengan aman. Sedia payung sebelum hujan. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada toilet berdiri, jongkok, apalagi duduk, (mewah amat, emang hotel) botol pun jadi.

Selamat menikmati...

(Promo ini tidak disponsori perusahaan air mineral. Seratus persen hasil pangamatan tanpa teori. Banyak botol-botol air mineral yang masih utuh saat para penumpang turun. Bukannya tidak haus. Di kereta api rakyat ini, minum, walau halal dan toyib, konsekuensinya berat!