Sedia tiwul, srawut, gempo, bemblong, gathot. |
Jaman perjuangan meninggalkan banyak cerita. Hampir semua berkisah tentang kesedihan. Dari pakaian berbahan karung goni, makanan dari pokok pisang, juga bambu runcing lawan senapan.
Satu yang tak kalah dramatis adalah kemewahan makan makanan berbahan singkong. Seperti tiwul, srawut, gemblong, gempo, bakmi.
"Panganan kok ora maregi," kata embah saat melihatku memakan jajanan instan. Saat mendengar komentar itu dua puluh tahun lalu, aku hanya mencibir. Kini baru kusadari, kata-kata itu begitu dalam.
'Maregi', asal kata 'wareg' yang berarti kenyang, dengan awalan me- dan akhiran -i membentuk kata sifat. Maregi berarti mengenyangkan.
Jaman dulu, kenyang berarti hidup dan menghidupi. Maka tak heran jika kita perhatikan, hampir semua kreasi panganan dari singkong warisan leluhur, selalu berat dan bikin kenyang. Karena kenyang berarti siap banting tulang. Walau tiwul hanya berbumbu garam agar lebih mudah ditelan.
Kini Indonesia lama telah merdeka. Setidaknya selain asinnya garam, manisnya gula sudah tidak tabu dirasakan rakyat jelata. Dan panganan dari singkong telah jadi makanan nostalgia yang manis karena telah berbumbu gula.
Seperti yang disediakan seorang 'penjual kenangan' di mulut Gang Dharmahusada I. Namun, maaf jika yang Anda temui di sana tak lagi autentik. Karena jika hanya berbumbu garam tak lagi menarik.
Salam Anak Singkong!
No comments:
Post a Comment