|
Kacamata aparat, bisa bikin rusak sudut pandang dan pikiran pemakainya. Waspadalah! |
Tak biasanya saya berangkat ke Surabaya jam 5 pagi. Biasanya jam 3.30 sudah ngacir di kegelapan. Pagi ini beda. Badan meriang dan hidung meler. Males banget kalo harus bersin-bersin sepanjang jalan karena kedinginan. Saya pun memilih berangkat saat udara mulai dihangatkan oleh sapuan lembut sinar sang surya.
Ternyata berangkat saat matahari mulai menyingsing membuka mata saya. Jalan yang tiap akhir pekan saya lewati ternyata membujur dari barat ke timur, bukan utara-selatan seperti keyakinan saya saat malam. Mata ngantuk pun makin berat saat harus menantang matahari.
Perjalanan kali ini juga mengantar saya bernostalgia. Sepanjang jalan saya saksikan beberapa sekolah berbagai tingkat yang sedang melaksanakan upacara bendera. Khidmad sekali siswa-siswi sekolah mengikutinya. Jadi ingat ceramah-ceramah kepala sekolah dulu agar menjadi generasi penerus bangsa yang bermartabat. Memajukan negeri ini dengan kekuatan karakter dan harga diri.
Bicara soal martabat, dalam perjalanan kali ini Tuhan juga kasih saya kesempatan untuk menguji nyali, mengukur seberapa tinggi harga diri, dan menyaksikan karakter aparat -yang jika mau disebut oknum, kok banyak amat- dalam menegakkan hukum.
***
Menyeberangi perbatasan Mojokerto-Sidoarjo yang dipisahkan Sungai Brantas kita akan dihadapkan pada lintasan jalan yang berkelok-kelok, sehingga mengesankan beberapa bagian mirip. Yaitu jalan meliuk ke kanan dengan kontur tanah menurun (paling enak kalau dipakai ngebut.. he..he..). Kalau tidak salah ada enam atau tujuh kelokan di sana. Sambil menikmati antrean pemakai jalan yang sudah memadat, bolehlah sambil mengitung kelokan itu biar lebih pasti.
Kelokan pertama, sebelah utara Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, berjalan mulus. Jalan lumayan lebar dan beraspal bagus. Kelokan kedua, luman lah walau di beberapa titik aspal menyembul yang mengurangi kenyamanan. Kelokan ketiga dan keempat favorit saya, panjang dan lebar.
Kelokan berikutnya tidak terlalu asik. Selain sempit, sehingga lalu lintas sering tersendat, pinggiran aspal, di mana para pengendara motor dapat tempat, bergelombang dan berdebu.
Hitungan kelokan kelima baru mau saya lanjutkan, saat sekelompok aparat berseragam cokelat dengan rompi hijau menyala, menghentikan laju kendaraan saya. Juga beberapa pengendara motor yang lain yang saya pikir dipilih acak. Sebab banyak juga pengendara motor yang diloloskan.
"Selamat pagi," sapa petugas membuka pembicaraan (saya harap ini sebuah dialog).
"Pagi, Pak," jawab saya.
"Lampu motor Anda bisa menyala?" waduh, ternyata saya lupa tidak menyalakan lampu. Saya menjawab dengan menggerakkan jempol menekan saklar. Lampu pun menyala.
"STNK, SIM, ada?"
"Ada, Pak," segera saya rogoh saku jaket dan menyerahkan apa yang petugas itu minta.
Dengan isyarat tangan petugas itu membawa saya ke petugas lain yang sudah siap dengan bolpen dan segepok surat tilang warna-warni. Di situ sudah ada seorang bapak yang ngotot minta dikasih surat tilang warna biru.
"Kalau mau bayar denda sebesar Rp 51.000,-" ucap petugas berbolpen itu.
"Kalau bayar di bank berapa?" tanya bapak itu. Sang petugas pun menunjuk sebuah angka di surat tilang dengan bolpennya tanpa berucap. Rp 100.000,- itulah angka yang barusan ditunjuk. Saya tidak tahu maksud dia menunjuk angka itu tanpa berucap.
"Yakin mau yang biru?" tanya petugas itu lagi.
"Ya, Pak," jawab bapak itu mantab dan tegas. Mengambil surat tilang, memasukkan ke dompet dan berlalu.
Selanjutnya, giliran saya.
"Ary Sulistyo." petugas itu memanggil nama saya sambil membolak-balik SIM dan STNK. Mencari kesalahan, pikirku.
"Saya, Pak." jawab saya. Biasanya ketika dipanggil nama saya, saya akan menjawab dengan menyebut nama orang yang memanggil saya. Namun kali ini tidak kutemukan emblem nama di seragap aparat itu. Tertutupi oleh rompi hijau menyala itu.
"Bersedia mengikuti sidang atau bayar denda di sini?"
Walah, belum-belum sudah ditodong dua pilihan yang tidak akan saya pilih. Padahal seharusnya ada pilihan lain. Yaitu kartu tilang slip biru, seperti yang barusan bapak tadi minta. Artinya saya mengakui kesalahan saya dan bersedia membayar denda melalui bank.
"Kalau yang bayar denda melalui ATM atau bank itu gimana caranya, Pak?" saya berusaha bertanya, karena saya harap ini sebuah dialog.
"Ambil STNK-nya di pengadilan ya." Hadeeh... petugas ini sakit telinga atau kram otak. Pertanyaan dan jawaban tidak nyambung alias GeJe.
"Setahu saya kalau bayarnya di ATM atau bank gitu, nanti ambil STNK-nya di Polsek sini, Pak." kata saya ngeyel.
"Ambilnya di pengadilan, sana, di Sidoarjo." jawaban yang gak asik kayak gini nih yang bikin bokong keringetan.
Tidak tahu kenapa, SIM dan STNK saya dipindahtangankan ke aparat lain. Aparat baru ini pun memanggil saya cukup dengan isyarat tangan. Sungguh aparat pengayom masyarakat yang tidak tahu rasa hormat, batinku.
Adegan berikutnya seperti yang biasa saya lihat di pinggir-pinggir jalan. Sang aparat segera mengambil segepok surat tilang kumal dan sebilah bolpen dari sepatu butnya yang tinggi. Sangat cekatan. Sepertinya ia begitu terlatih untuk gerakan yang satu ini. Mungkin dia sudah sangat sering beraksi di pinggir-pinggir jalan menakut-nakuti pengendara yang melakukan kesalahan. Dan cara ini memang terbukti manjur. Apalagi jika diikuti kalimat yang juga dia ucapkan kepada saya.
"Tahu kesalahannya?" tanyanya sambil menulis di kartu tilang.
Wih, garang sekali aparat yang satu ini. Apalagi kacamata hitam lebar menyembunyikan jati dirinya. Terlihat kumis hitam tebal sehingga tampak mendominasi wajahnya yang tertutupi helm dan kacamata. Polisi ini menulis sesuatu, bukankah polisi yang tadi sudah sempat bikin coret-coretan di kertas kartu tilang. Lha kok yang ini corat-coret lagi di kartu tilang berbeda. Ah, paling persediaan kartu tilang di kantornya masih banyak. Jadi bukan masalah kalau hanya menghamburkan kertas warna-warni ini dua atau tiga lembar saja.
"Kalau ikut sidang, di pengadilan besuk tanggal (dia menyebut tanggal yang saya lupa), kalau bayar denda di sini Rp 51.000,-" Widiiih, kompak bener, udah janjian kali. Semua pelanggaran tarif "damai"-nya segitu.
"Kalau bayar lewat ATM atau bank gitu gimana, Pak?" pertanyaan ini belum akan selesai sebelum ada jawaban yang benar. Memang ini bukan tes soal-jawaban. Saya menganggap ini dialog. Dan sebaiknya begitu.
"Kamu mau bayar di bank? Ambil STNK-nya tetep di pengadilan," katanya.
Wow, sepertinya "ambil STNK di pengadilan" telah disepakati menjadi jurus pamungkas jika si tertilang tidak bersedia bayar denda di tempat.
Selain itu, kata "kamu" sungguh tidak pas dalam konteks ini. Saya bukannya ingin dihormati, namun kali ini akan lebih tepat jika aparat itu memakai kata Anda, Bapak, atau Ibu dalam komunikasi antar orang yang saling menghormati. Dan ini membuat saya gerah. Saya tidak akan melepas petugas macam ini begitu saja.
"Maaf, Pak. Bisa kacamatanya dilepas?" Pinta saya.
Terus terang, sejak tadi saya tidak nyaman berbicara dengan orang yang bersembunyi di balik topeng macam ini. Berdiri di tempat yang lebih tinggi agar bisa mendominasi, tidak melepas kacamata hitam untuk menutupi jati dirinya.
"Apa hubungannya? Mata saya silau!" nadanya meninggi.
Saya diam, menunggu petugas itu melepas kacamata. Sambil mengeluarkan HP dan menyiapkan mode kamera.
"Bisa lepas kacamata, Bapak? Saya tidak nyaman berbicara dengan Bapak yang berkacamata," sekali lagi dan kali ini nadaku lebih ketus.
Tidak memenuhi permintaan saya, ia malah mulai nyerocos. Dan "klik...", satu jepretan pas di mukanya. Selanjutnya adegan yang tidak akan saya lupakan sampai besuk pagi. Yaitu, ucapannya berubah jadi umpatan. Segala macam jurus mengumpat ia keluarkan. Pertunjukan ini pun disaksikan oleh segenap pemakai jalan yang begitu padat dan macet. Saya berhasil memancing emosi aparat tak punya rasa hormat ini.
Hampir saja ia menyambar HP dari tangan saya. Namun tidak kena karena tempatnya berdiri terlalu tinggi dan jauh terhalang motor gede-nya. Saya mundur, tertunduk, selain itu saya juga takut. Namun segera sadar ini tempat ramai dan dia berseragam.
Tak lama berselang seorang petugas tinggi besar menarik saya dan berbicara dengan lebih lembut.
"Apa maksud sampeyan moto-moto?" tanyanya.
Belum sempat saya menjawab, petugas yang satu ini terus melanjutkan bicaranya. Saya tahu, dia bukan pendengar yang baik. Dia merasa jadi penengah dan kini sedang berceramah. Ya sudah, kudengar saja.
"Kami sudah sejak pagi berdiri di jalanan yang panas gini. Jangan dibikin tambah panas. Tolong hapus fotonya, dia (petugas yang mengumpat) dari Brimob. Gak enak kalo ribut-ribut gini."
Saya pun bermaksud ingin menghapus foto itu. Tapi aparat pengumpat tadi ingin menghapusnya sendiri. Sementara aparat pengumpat sibuk dengan HP saya. Petugas tinggi besar melanjutkan pembicaraannya.
"Masnya kerja di mana?
Yah, sepertinya keasikan ini akan segera berakhir.
"Saya kerja di majalah, Pak," jawab saya.
***
Perjalanan menuju Surabaya masih jauh. Masih melewati beberapa sekolahan yang telah menyelesaikan upacara bendera. Kini tinggal Sang Merah Putih berkibar-kibar tertiup angin pancaroba. Mendekati Surabaya, jalan makin padat. Sesekali berhenti untuk jalan beberapa meter dan berhenti lagi. Suasana jenuh, panas, dan haus mengingatkan upacara bendera yang dulu saya ikuti. Saat kepala sekolah tak henti-hentinya menceramahi kami tentang harga diri dan kekuatan karakter untuk membentuk martabat kami.
Ternyata saya tidak lebih baik dari aparat pengumpat itu. Saya menikmati ketika bisa melenggang melanjutkan perjanan tanpa ditilang. Padahal jelas saya bersalah telah tidak menyalakan lampu di siang hari yang terik dan silaunya bikin aparat harus berkacamata.
______________________________
Ternyata foto aparat pengumpat itu tidak hilang dari HP saya. Entah apa maksudnya, ingin dijadikan kenang-kenangan untuk saya, atau dia memang belum kenal dengan kata berbahasa Inggris bertuliskan "delete". Wallahu 'alam bisawab...