|
Pak Sepon yang sederhana dan murah senyum. |
Nyambung dengan tulisan beberapa waktu lalu tentang
samiler, kali ini aku berkesempatan ngobrol langsung dengan penjualnya.
Pagi itu seorang pria paruh baya duduk di trotoar di Jl. Nginden Intan Raya Surabaya, sambil menunggui samiler dagangannya. Di kepalanya, sebuah caping gunung bertengger, melindungi si empunya dari panas dan hujan. Mungkin caping ini telah menemaninya sejak lama. Beberapa lubang menghias di beberapa bagian.
Sepon, nama pria itu. Dari
Wantilgung Ngawen Blora asalnya. Anak keempat dari sepuluh bersaudara. Ayah dari tiga orang anak lulusan SD yang terpaksa tidak lanjut karena terbatas biaya.
Sepon sudah dua tahun berdagang samiler. Sebelumnya, dia narik becak di Lamongan. ''Jualan samiler lebih ringan dan mudah,'' katanya. Walau begitu narik becak tidak dia tinggalkan begitu saja.
Dua tahun jualan samiler telah memberi Sepon banyak pengalaman. Setahun lalu dia ikut temannya berjualan di Kota Malang. Namun tubuh tuanya berontak. Dinginnya malam Kota Malang tembus hingga tulang. ''Saya nggak kuat, ya sudah balik lagi ke Surabaya,'' ujar Sepon.
Pedagang samiler dari Wantilgung merambah hingga ibukota dan daerah-daerah sepanjang Jalur Pantura. Sepon bilang untuk mencapai 'daerah operasi' mereka menumpang truk dan kereta.
Samiler telah menghidupi warga kampung Sepon. Singkong hasil tani, produksi samiler, distribusi, hingga pemasaran. Semua dilakukan warga Wantilgung. Bahkan permintaan samiler yang tinggi mengharuskan Wantilgung mengimpor bertruk-truk singkong dari daerah lain.
Sayangnya samiler produksi Wantilgung tak bermerek. Hanya dibungkus plastik kresek warna kuning. Dijajakan dengan pikulan bambu. Seandainya saja dikemas dan dibranding dengan profesional. Mungkin merek 'Sepon Samiler' jadi pilihan bagus.
Atau, plastik kuning dan pikulan bambu itulah nyawa samiler. Sederhana dan jelata.