Jam 9.30 matahari baru terbit di rumah kami. Cahaya menyilaukan menyusup di sela-sela jendela. Beginilah akhir pekan. Teringat ide kemarin sore. Sarapan ayam bakar. Hmm... sedap dan nyaaaman... laii...
Dengan langkah yang dibikin mirip boys band yang lagi suting video klip, aku dan Ubet Markasan menyusuring gang. Menuju Pasar Karang Menjangan. Aroma khas bau badan yang menguar dari tubuh kami menambah indahnya pagi ini.
Sampai di TKP, rupanya sebagian pedagang sudah berkemas, siap pulang membawa uang. Untung saja satu dari tiga pedagang daging ayam masih setia menunggu pembeli kesiangan macam kami.
Sepuluh menit berpetualang di pasar, semua yang kami butuhkan kami dapatkan. 3/4 kg daging ayam, dua butir tomat, dua butir cabai merah, dua butir jeruk nipis, dua sacet merica, sejumput cabai rawit, sepuluh siung bawang merah, sekepal bawang putih.
Oke, sebuah menu agung faforit para dewa akan diciptakan hari ini. ''Bet, tunggu, ada yang kurang,'' kataku. ''Cari di warung dekat rumah saja,'' jawabnya. Untung ada mlijo di depan gang, sehingga jahe dan kunyit bisa kami dapatkan. Gratis lagi. Sebenarnya kami juga butuh serai, sayangnya itu baru teringat saat ada aroma yang kurang dari daging ayam dan bumbu diungkep.
Sampai di dapur, semua alat telah siap, kami pun beraksi. Ubet melembutkan bumbu yang sudah kami takar menggunakan palu. Sedangkan aku mencuci daging dan beberapa piring. Hari ini aku mendapati satu lagi kenyataan yang ada padaku. Ternyata aku tak tahan memegang daging mentah. Dingin, lembek, pucat, dan amis.
Soal meracik bumbu, mengungkep, dan membakar daging, serahkan padaku. Tapi kalau pegang daging mentah, aku menyerah.
Sejam daging diungkep. Seperempat jam daging dibakar. Selesai. Tapi, sambalnya...?!
Ubet berimprufisasi. Sebutir tomat dan cabai rawit yang tersisa ia lembutkan. Guyuran kecap mengakhiri sentuhan.
Sesi berikutnya hanya ekspresi syukur yang tergambar lewat suara umpatan nama-nama binatang dan sesekali nama tuhan.