Hari ini, 26 Juni, tiga tahun lalu, seorang teman mengabadikan sebuah kejadian dalam tulisan indahnya:
Tiga tahun berlalu. Dulu kami hanya berdua mengikat janji yang menggetarkan langit. Susah senang, sedih bahagia kami lalui. Kami sangat mengilhami bahwa tak ada yang tak mungkin. Niat yang baik akan berbuah manis. Setiap ujian dan tantangan pasti akan menjadikan kami makin hebat. Badai pasti berlalu. Kata Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang". Walau itu tak berlaku pada kulitku.Ary Codet Getarkan Langit
Bunyi dering handphone siang itu terasa berbeda dengan hari yang lain. Di layar HP tampak satu pesan masuk dari Bos Ary. Begitulah aku menamainya di phonebook-ku. Dia adalah salah satu kawan seperjuangan yang kebetulan juga satu kontrakkan denganku di Surabaya (The City of Heroes).
Cukup lama kami tidak ketemu pasca kepindahanku ke Pacitan, kota yang kondang dengan julukan kota 1001 Goa. Bos Ary memilih tetap bertahan di sumpeknya kota Surabaya. Berkarya sebagai layouter salah satu majalah internal lembaga zakat yang cukup ternama. Sementara diriku memilih untuk mengabdi kepada negara, menjadi seorang PNS (Pegawai Nyantai Sekali).
Pertemanan kami sudah cukup lama. Berawal dari ruangan kecil berukuran 3x4 meter di bawah tangga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Fisip Unair). Kemudian dalam perjalannya, ruangan tersebut pindah ke pojokan Fisip Unair, dekat parkiran sepeda motor. Hingga kini ruangan sempit yang bernama Pers Mahasiswa Retorika itu tetap memiliki ruangan luas di hatiku.
Awal kenalan, Bos Ary merupakan salah satu senior Retorika. Pribadinya kalem, ramah, sederhana, tidak suka berkonflik, dan kalau bicara cukup panjang. Seolah-olah ingin menjelaskan secara runtut tapi pada akhirnya juga agak membingungkan bagi yang mendengarnya. Ada sedikit campuran filosofinya.
Ada cerita lucu soal gaya bicara Bos Ary ini. Suatu ketika di kampus, Bos Ary bersimpangan dengan seorang mahasiswi yang dikenalnya. Mahasiswa itu bertanya tentang sesuatu hal kepadanya. Dia pun mulai menjawab pertanyaan mahasiswi itu. Tanpa di sadari, jawaban yang diberikan mungkin terlalu panjang. Hingga si mahasiswi nyletuk “Wis ojo kesuwen Bos, intine opo?”, sambil berlalu meninggalkan Bos Ary yang sedang menyiapan jawaban atas pertanyaan lanjutan itu. Aku yang berada tidak jauh darinya hanya bisa tertawa.
Itu kesan awal ketika aku baru mengenalnya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu Bos Ary ternyata tidak seperti gambaran awal. Ada banyak hal menarik yang ada pada dirinya. Seperti idealismenya untuk tidak menonton film di bioskop. Meski file film di komputernya berjumlah ratusan. Entah apa alasannya hingga Bos Ary bersikukuh tidak menonton film di bioskop. Apa karena harus membayar atau dia punya traumatis dengan gedung bioskop. Entahlah, hanya Tuhan dan Bos Ary yang lebih tahu.
Pertemanan kami banyak dihiasai kejadian konyol di kontrakkan. Kontrakan yang terselubung dengan jalan semampai (satu meter tak sampai) di Surabaya menjadi pilihan kita untuk berteduh. Ketika ditanya kawan-kawan lain kenapa kontrak di tempat seperti itu, penghuni kontrakkan sepakat untuk menjawab supaya tidak terdeteksi oleh intelijen. Karena kontrakkan kita sering menjadi posko gerakan mahasiswa. Mulai dari pers mahasiswa, lembaga penelitian, ormek, pacaran, hingga jujugan mahasiswa saat bolos kuliah. Namun di balik itu, alasannya sederhana, kita tidak punya uang untuk menyewa kontrakkan yang lebih bagus.
Di kontrakkan itu pula Bos Ary mendapat julukan Ary Codet dari Panji Lanang Satriadin (salah satu penghuni kontrakkan yang sekarang berkarya sebagai wartawan di Radar Kediri). Sementara Panji sendiri menjuluki dirinya sebagai Panji Tato. Sepertinya mereka bersepakat untuk membentuk sebuah komunitas preman yang memiliki hati seindah taman.
Kembali ke suatu siang ketika aku mendapatkan layanan pesan pendek dari Bos Ary. Tak henti-hentinya aku bertanya-tanya dan meragukan isi pesan itu. Terus terang aku cukup terkejut. Bos Ary mengabarkan dirinya akan menikah dengan seorang perempuan asal Kediri. Ini adalah keterkejutanku yang kedua kalinya. Beberapa hari sebelumnya, Mbak Anieq, juga senior di retorika, mengabarkan kabar off the record tentang Bos Ary yang akan menikah. Lewat chatting di Facebook, pertanyaan pertama kali yang kutuliskan kepada Mbak Anieq adalah rabi karo opo bos Ary kuwi?
Yah pertanyaan opo (apa) itulah yang spontan muncul, bukan sopo (siapa). Sebab, menilik dari kajian sejarah yang ada, Bos Ary hampir sepi dari hiruk pikuk dunia percintaan. Mulai ketika Hasan dan Aam (yang juga penghuni kontrakan), yang saat itu berpegang teguh untuk tidak pacaran sampai akhirnya memutuskan untuk pacaran. Si Bos Ary tetap pada prinsipnya. Pendiriannya untuk soal ini memang sama kokohnya dengan pendiriannya untuk tidak nonton film di bioskop.
Kabar pernikahan Bos Ary bagiku jauh lebih istimewa ketimbang pernikahannya Pangeran Henry. Hingga kutekadkan niatku untuk datang di hari istimewanya, hari Minggu tanggal 26 Juli 2011.
Andria Amri, teman seperjuangan di retorika yang kini berkarya sebagai wartawan Radar Nganjuk, mulai kuhubungi untuk menyusun rencana menghadiri pernikahan Bos Ary. Sehari sebelum hari H, aku sudah tiba di Kediri. Malamnya kami (aku, Panji, dan Andria) cangkruk menikmati suasana malam kota Kediri.
Mie khas Kediri membuatku tergoda untuk terus memakannya. Hingga dua porsi pun habis tanpa sisa. Acara cangkruk pun berlanjut hingga dini hari. Panji dan Andria ternyata sama terkejutnya denganku ketika mendapat kabar pernikahan Bos Ary. Keduanya juga sama-sama tidak percaya kalau Bos Ary akan menikah. “Iki tenanan tah?”, kata kedua makhluk itu dengan nada seirama.
Kawan-kawan yang kenal dekat dengan Bos Ary mungkin juga merasakan hal yang serupa. Terkejut, meragukan, atau bahkan tidak percaya, mungkin itu respon awal yang tercipta saat mendengar kabar pernikahan Bos Ary.
Meski demikian, di lubuk hatiku yang terdalam, aku salut dengan Bos Ary yang berani untuk memutuskan menikah. Berani untuk mengambil tanggungjawab sebagai seorang pemimpin. Menuntun istrinya mengarungi kehidupan di dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat. Two thumbs up for you Bos !
Itulah sebuah langkah besar, atau yang katanya Din Syamsudin sebuah Big Bang, atau kalau dianalogikan seperti sebuah kentut yang tidak mengeluarkan bunyi tapi baunya luar biasa menyengat. Sampai bisa membuyarkan kumpulan jamaah tahil.
Sebelum pulang dari cangkruk, kami bertiga sepakat untuk datang saat Bos Ary mengucapkan ijab-qobulnya. Aku dan Andria pun bergegas pulang dan tidur di kosnya Andria.
Hari minggunya kami bangun kesiangan. Rencana datang pas ijab-qobul sepertinya terancam gagal total. Apalagi ketika menuju lokasi aku dan Andria sempat tersesat. Ini karena penunjuk jalan, si Panji, ternyata juga bangun kesiangan. Akhirnya aku dan Andria nekat berangkat sendiri mencari lokasi pernikahan Bos Ary.
Setelah bertanya sana-sini, berdoa, dan berserah diri pada-Nya, akhirnya ketemulah lokasi yang dicari. Bos Ary sendiri yang menyambut kedatangan kami. Dengan mata berbinar bahagia dia menyalami kami dan bertanya, “Awakmu ga ngerti mau langit bergetar?”.Rupanya kami melewatkan prosesi ijab-qobulnya. Dalam hatiku hanya bisa berkata, “sori bos, ket mau ga sempat ndelok langit. Sebab e nyawang dalan terus, wedi kesasar maneh.”
Andaikan kami datang setengah jam lebih awal mungkin kami bisa mendengar bos mengucap qobiltu, apalagi katanya dia harus mengulang dua kali. Tapi tak apalah, sudah sampai ke lokasi saja kami sudah senang. Mengabadikan momen berharga pernikahan Bos Ary, yang katanya Andria, acara The Royal Wedding abad ini. (gwp)
Tiga tahun berlalu. Mengalunkan syair-syair bahagia. Walau tak sedikit juga goresan luka.
Tiga tahun berlalu. Kini dua jagoan, Damar dan Linggar, berada di tengah-tengah kami. Menyita segenap perhatian yang makin memperkokoh janji yang tiga tahun lalu kami ucapkan.
Terima kasih, Tuhan.
No comments:
Post a Comment