Yang membuat orang pintar berimprovisasi sering kali adalah mepetnya keadaan. Munculnya Pisang Goreng Bulok juga menjadikan "si kepepet" sebagai tersangka. Walau hasil improvisasi kali ini belum seheboh Bob Sadino yang menelurkan Kemchick, atau Sandiaga S. Uno yang melahirkan Saratoga, tapi saya cukup senang.
Ceritanya begini. Kemarin, sekembali dari pulang kampung alias mudik lebaran, aku disambut oleh cerianya warna kuning yang terpancar dari tiga sisir pisang kepok sisa produksi kripik pisang akhir Ramadhan lalu. Ranum sekali mereka. Rasanya sayang jika keindahannya rusak oleh kerakusanku. Maklum, masa pertumbuhan sering membuatku banyak makan tanpa sadar. He..he..
Hari pun berganti. Semburat kuning pisang kepok mulai redup. Beberapa sisi belang mengitam. Menandakan pisang memasuki masa pasca-matang, untuk tidak menyebut membusuk. Saatnya misi penyelamatan! Hiaat...
Pagi ini, sehabis subuh aku pasang aksi di Dapur Bulan Madu, di mana aku bersama belahan jiwaku biasa adu masak. Kupas dan potong pisang, racik tepung, nyalakan kompor, pasang wajan, panaskan minyak. Kreasi jajanan dari pisang kepok pun dimulai.
Zap...zap...zap...(selesai). Pisang Goreng Bulok siap dihidangkan.
Memang tidak spesial. Namun teman-teman sekantor menyangka pisang goreng itu buatan tangan perempuan. Artinya masakanku tak kalah enak dari masakan master chef asal Kediri, Kyut Wulwul. Padahal istriku itu sedang di luar kota. Dan aku menjadi bujang lokal di Surabaya.
Oleh karenanya pisang goreng ini kunamai Pisang Goreng Bulok (Bujang Lokal).
Sampai jumpa di Dapur Bulan Madu untuk menu berikutnya...